Mohon tunggu...
Carolina Bastian
Carolina Bastian Mohon Tunggu... -

If we all discovered that we had only five minutes left to say all that we wanted to say, every telephone booth would be occupied by people calling other people to tell them that they loved them... #One of my fav quote ... follow my twitter: @olinbastian ... thank you :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kimi Andrea Sebastian (Part 1)

29 September 2011   17:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:30 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Kimi Andrea Sebastian, cinta adalah sesuatu yang harus datang secara tiba-tiba. Cinta harus mampu mengejutkan keempat panca inderanya. Mata, hidung, telinga, dan kulit. Tidak perlu dijelaskan mengapa panca indera kelima tidak dilibatkan dalam hal ini. Si lidah—panca indera terakhir, dapat dilibatkan nanti, ketika cinta sudah jelas di depan mata dan boleh dicicipi.

Walaupun sudah berumur hampir seperempat abad alias dua-puluh-empat-menjelang-dua-puluh-lima, Kimi masih mengagung-agungkan teori konyolnya itu. Bagaimana tidak konyol? Sudah beberapa kali ia menolak tawaran pacaran dari beberapa teman laki-lakinya hanya karena tidak ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya saat kulitnya bersentuhan dengan teman laki-lakinya itu. Jadilah hingga sekarang ia masih sendiri. Menjalani hidup serba sendiri. Tinggal di rumah sendiri, nonton dvd sendiri, mendengarkan musik sendiri, masak sendiri, mandi sendiri…

Untuk hal yang satu ini—cinta, Kimi setia pada jalan pikirannya. Ia harus menemukan laki-laki yang bisa membuat matanya menagih saat kali pertama bertemu, hidungnya harus dimanjakan oleh wangi parfum yang lembut namun menggoda, telinganya terpuaskan oleh suara bariton yang yahud, dan kulitnya siap menghantarkan pesan kepada otak untuk mengubah ulat-ulat di perutnya menjadi kupu-kupu cantik yang kemudian beterbangan lepas. Hingga kini, hingga tahun ke dua-puluh-empat-menjelang-dua-puluh-limanya, Kimi merasa belum bertemu dengan the one itu.

“Enggak perlu cinta pada pandangan pertama, Mi. Lo kan bisa jalan dulu sama cowok-cowok itu baru kemudian sapa tahu ada yang nyangkut gitu di hatilo.” Paksa Nuri, teman terdekat Kimi. Ia gemas melihat Kimi yang sudah-sangat-lama sendiri itu. Antara gemas dan penasaran sebenarnya, ia ingin sekali tahu tipikal cowok yang bakal buat Kimi klepek-klepek. Hingga saat ini, sudah empat tahun ia menjadi sahabat Kimi, belum ada satupun yang berhasil mematahkan teori Kimi mengenai cinta.

Tapi lagi-lagi Kimi tidak menerima saran Nuri. Baginya cinta itu seperti Romeo dan Juliet. Sekali ketemu langsung dash! Jadi! Mata ketemu mata, hati ketemu hati, layaknya cerita-cerita dongeng indah lainnya mengenai pertemuan antara si pelayan istana dengan pangeran, atau si penjual bunga dengan pangeran, atau mungkin juga cerita mengenai pertemuan pertama kali antara si ksatria dengan si putri. Tapi please deh, itu kan cuma ada di cerita-cerita dongeng.

“Lo pasti pernah baca Pride and Prejudice dong? Di situ Mr Darcy dan Elisabeth Bennet bukan cinta pada pandangan pertama. Mereka justru baru jatuh cinta saat mereka berdua udah saling kenal. Hasilnya? Mereka happily ever after,tuh.” Nuri tidak mau kalah.

“Eh, jangan salah. Yang naksir duluan itu Mr. Darcy. Dia jatuh cinta waktu ngeliat Elisabeth Bennet untuk pertama kalinya. Mulai saat itu Mr Darcy coba buat ngejar si Lizzy. Tapi gara-gara Mr Darcynya rada jutek and belagu, jadinya Lizzy males banget buat deket-deket. Tapi akhirnya mereka jadian juga sih, gara-gara surat dari Mr. Darcy.”

“Lah, jadi apa bedanya sama cowok-cowok yang selama ini ngejarlo? Lo sempet bilang ke gue kalo lo itu enggak nerima mereka karena mereka inilah, itulah, yang beginilah, yang begitulah. Prett! Kalo diandaikan yah, lo itu si Elisabeth Bennet. Lo hanya tinggal ngebuka hatilo aja ke salah satu cowok-cowok itu. Ada siapa tuh? Si Damian, Andro, Jati, Dhik—“

“Karena seandainya kisah gue disamakan dengan Pride and Prejudice, maka gue seharusnya menjadi Mr. Darcy, yang pertama kali jatuh cinta. Bukan si Elisabeth Bennet yang dikejar-kejar itu. Lo sekarang ngerti maksud gue dong.” Potong Kimi.

“Ahh terserah lo deh. Capek juga gue lama-lama ngurusin beginian. Bisa sakit kepala. Lagian lo enggak sadar apa sekarang udah umur dua puluh empat? Enggak inget apa nyokaplo udah berulang kali nanyain cucu?” mata Nuri mendelik tajam. Mencoba menyadarkan gadis cantik disampingnya ini untuk menerima salah satu pinangan laki-laki normal di jagat raya. Semoga saja Damian jadi pilihan pertama. Sepupu laki-lakinya itu naksir berat sama si perempuan ‘Alien’ yang sedang menyeruput Vanilla latte-nya itu dengan santai. Nuri makin keki dibuatnya. “Gimana? Kepikiran enggak buat kawin? Ato at least—pacaran?

Kimi menggeleng pelan. “Selama belum ada yang nyantol, jawaban gue masih tetap sama. No, no, and a BIG NO.” Sejenak Kimi memandang heran wajah sahabatnya yang kini sudah ditekuk delapan bak kertas origami. “Lagian gue yang enggak mau pacaran, kenapa elo yang repot ya?”

“Bukan repot. Tapi PEDULI.” Nuri memutar bola matanya, kesal. Disandarkannya kepalanya ke sofa putih milik kedai kopi tempat ia dan Kimi bersantai sore hari itu. Lembutnya bantalan sofa membuat dirinya mendadak tujuh puluh persen lebih rileks setelah perdebatan yang intens dengan Kimi barusan.

“Ri, gue beli donut dulu ya. Laper nihh..” kata Kimi seraya menepuk pelan perutnya. “Lo tunggu sini bentar ya. Mau nitip enggak?”

“Boleh deh yang avocado yaa.. satu aja.”

“Siap!” Kimi segera melesat meninggalkan Nuri yang masih pada posisi uenaknya. Mata Nuri lekat memandang Kimi yang sedang mengantri di kejauhan. Kurang apa coba tuh anak, pikir Nuri. Cantik iya, kerjaan juga udah lumayan oke, apalagi rumah udah punya sendiri. Yah tinggal beli mobil aja sih. Tapi enggak perlu beli lah kalo nanti udah punya pacar. Kan bisa minta di anter jemput.

“Is it the look in your eyes, or is this dancing juice? Who cares, baby? I think I wanna marry you…” suara Akang Bruno Mars mengalun lembut dari saku celana jeans Nuri. Buru-buru dirogohnya sakunya, jantungnya sedikit terlonjak ketika melihat nama kontak yang berkedip-kedip di layar handphone-nya.

Yellow!” jawab Nuri dengan sedikit aksen centil. Ia sangat excited menerima telfon ini. Siapa juga yang bisa melawan pesona si charming—penelfon gelap disebrang sana. Sejenak, Nuri amnesia pada Barry—pacarnya sejak kuliah, eh bukan SMA.

Terdengar suara lembut namun tegas ditelfon genggam, laki-laki itu sepertinya menanyakan kabar Nuri. “Baik.. baik banget.. Lo apa kabar? Udah lama banget enggak say hi nih. Sombong banget.” Percakapan mereka kemudian mengalir bak air. Tak lama setelah itu, Nuri melihat Kimi berjalan ke arahnya sambil membawa baki yang diatasnya sudah tersedia dua donuts. Satu pesanan Kimi, satunya lagi donut avocado pesanan Nuri.

Sambil terus berusaha fokus pada suara seksi nan menawan yang ada disebrang, entah kenapa Nuri juga fokus memperhatikan Kimi. Sahabatnya itu kini sedang tersenyum manis sambil mengedikkan kepalanya ke arah donut. Waktu tiba-tiba seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Seakan suara ditelfon genggam itu berbicara lebih lambat dan Kimi kini berjalan dalam gerakan slow motion ala model video klip.

Ide gila mendadak timbul di otak Nuri. Mata dan juga pikirannya berpindah-pindah dari Kimi ke telfon genggamnya. Nuri tersenyum lebar karena ide gila yang mendadak melesat di otaknya itu. Sesaat sebelum langkah kami Kimi mencapai meja tempat Nuri duduk, buru-buru ia menutup telfon genggamnya. “Lo bentar lagi pulang ke Indo ya? Bagus deh. Talk to y’ later..” Bleg. Telfon tepat ditutup saat Kimi menghempaskan pantatnya ke sofa.

“Telfonan sama siapa sih? Muka lo sampe merah gitu,” Tanya Kimi heran.

“Biasaa.. si Barry. Dia nanyain gue lagi ngapain, dimana, ama siapa.” Jawab Nuri sambil buru-buru menggigit donut pesanannya. Jantungnya hampir mencelos melihat tatapan heran Kimi.

“Ohh kirain siapa.. abisnya muka lo sampe merah gitu sih kaya udang rebus,” cela Kimi. “Udah pacaran bertahun-tahun masih aja suka salting waktu ditelfon. Kaya pacaran waktu SMP aja lo, Ri.. hahahaha…”

Yang dicela hanya tersenyum misterius. Maafin gue ya, Mi, pikir Nuri dalam hati. Tapi ini demi kebaikan lo juga. Kalo enggak sekarang, kapan lagi…

***

... to be continue ^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun