Mohon tunggu...
Carmia Margaret
Carmia Margaret Mohon Tunggu... -

Siswa kelas XI SMK Sentosa Jakarta, sedang menjalani tugas praktek 2 bulan di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Tergila-gila membaca dan berkontribusi bagi kemajuan dunia melalui karya nyata berupa diksi dan aksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihan Untuk Hidupku

5 Maret 2012   12:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tapi Pa—“

Aku hanya bisa menunduk, mencoba bicara sekuatnya untuk menjelaskan kepada Papa kalau aku berniat membatalkan keikutsertaanku dalam UMPTN Fakultas MIPA Universitas Indonesia yang akan dilaksanakan minggu depan. Aku sudah menggumulkannya secara serius sepanjang bulan ini, dan kini aku mantap dengan keputusanku, aku mau masuk Fakultas Sastra, bukan MIPA.

“Tidak ada tapi-tapian! Papa tidak mau tahu, kamu harus lolos UMPTN MIPA minggu depan. Kamu harus masuk Fisika!”

Papa menatapku tajam. Sesuai dugaanku, Papa pasti tidak setuju. Beliaulah orang yang paling berharap, sekaligus paling keras menekankan agar aku masuk Fakultas MIPA seperti Arvan, abangku yang kini sedang mengambil program strata dua di MIT—Massachusets Institute of Technology. Bedanya, Papa mau aku masuk jurusan Fisika. Untuk melengkapi Arvan yang sudah masuk Matematika, begitu kata Papa setiap kali kutanyakan alasannya.

“Pa, aku...”

“Mau jadi apa kamu dengan buku-buku tulisanmu itu, Shera? Mau makan apa kamu? Di Indonesia ini, tinta saja tidak akan pernah cukup untuk membeli nasi!” Papa bangkit dari duduknya, mengambil setumpuk kertas—tulisan-tulisanku—yang tadi kuserahkan untuk dibacanya, lantas mencampakkan semua kertas-kertas itu ke lantai hingga tercerai berai dari klip penjepitnya.

“Selesaikan soal-soal Fisikamu itu, jam sembilan nanti Papa koreksi.” Papa berbalik meninggalkanku yang sedang kerepotan mengumpulkan kertas-kertasku yang berserakan di lantai itu. Tanpa menatapku lagi, ia melanjutkan kata-katanya. “UMPTN MIPA tinggal seminggu lagi, dan kamu harus mewujudkan apa yang sudah Papa targetkan. Sebagai bukti, kalau kamu masih mau jadi anak Papa.”

***

“Shera..”

Mama membuka pintu kamarku pelan lantas berjalan menuju tempat tidurku. Ia duduk tepat di sebelahku tanpa berbicara apapun, seolah mengerti kepedihanku. Mama meregangkan tangan kanannya, meraih bahuku ke dalam rengkuhannya, kemudian mengusapnya lembut. Tangan kirinya bergerak menyusuri pipiku yang basah, menghapus air mataku yang terus jatuh bercucuran. Aku menikmati pelukannya, sangat hangat dan menenangkan. Lantas aku melingkarkan tangan kananku di perut Mama, menyambut pelukannya.

“Mama tahu hatimu, Sayang..” bisiknya pelan sambil mencium rambutku, “Mama mengerti..”

“Tapi Papa nggak ngerti, Ma..”

“Berdoalah, Sayang. Papamu itu hanya keras, bukan jahat. Papa pasti akan mengerti, karena Papa juga punya hati yang sama lembutnya seperti putrinya ini,”

Aku menatap Mama penuh tanya, karena aku masih belum percaya ucapan Mama. Kurasa Papa sudah tidak akan pernah mau mentolerir lagi. Apa yang telah ditentukannya—Fisika UI—harus kucapai, tidak boleh tidak.

“UMPTN-mu itu masih tujuh hari lagi, bukan?”

Aku mengangguk.

“Belajarlah, Sayang. Kerjakan soal-soal Fisika yang telah Papa belikan untukmu. Tapi, Mama memintamu untuk tetap menulis. Selesaikan karya barumu—kalau kau masih punya ide—dalam tujuh hari ini. Tuangkan yang terbaik yang kau mampu dalam tulisanmu. Siapa tahu, ketika Papa membaca masterpiece-mu, hatinya bisa luluh,”

“Mama yakin?”

“Kau percaya Tuhan, Shera?”

Aku mengangguk. Lagi lagi hanya dapat mengangguk, setidaknya kali ini aku menatap mata wanita luar biasa yang telah melahirkanku ini dengan penuh harap.

“Berdoalah. Hati Papamu itu juga Tuhan yang buat,” Mama mengecup keningku, kemudian tersenyum. Sangat manis. “Sekarang, cuci mukamu. Sepertinya Mama bersalah membiarkan Jonas menunggumu lama di bawah.”

“Jo.. Jonas?”

“Setengah jam yang lalu dia datang kemari, mau ketemu kamu. Mama menyuruhnya menunggu di bawah. Cepatlah temui dia sebelum Papamu pulang. Sepertinya pacarmu itu juga takut sama Papa,”

Mama mengerling menatapku, seraya melepaskan pelukannya. Aku bangkit dari tempat tidurku dan tersenyum menatap Mama.

“Makasih, Mama,” Aku menatapnya lekat-lekat, “Tapi, Jo bukan pacarku,”

Mama tersenyum menggoda dan melangkah keluar dari kamarku. Aku hampir masuk ke kamar mandi saat Mama menyembulkan kepalanya dari celah pintu kamarku.

“Memang bukan pacarmu, tapi calon, kan?”

“Maaaa!!!” Aku mengerang, “BUKAN!”

***

“Jo!”

Aku setengah berteriak memanggil sahabatku yang sedang duduk di motor Revo hitamnya, yang diparkir di depan rumahku. Ia langsung menoleh ke arahku, namun seketika langsung melengos lagi, membalikkan tatapannya ke arah semula. Nampaknya Ia asyik sekali mendengarkan musik lewat iPod kesayangannya.

“Udah lama, ya?” Aku menepuk pundaknya.

“Belum, kok,” jawabnya dingin sambil melepas earphone-nya, ”Tapi kalo lo keluar lebih lama lagi, mungkin gue udah jadi arca.”

“Wah, tau gitu gue gak usah keluar,” kataku dengan nada sedikit menyesal. Jonas hanya diam, tapi jelas sekali terlihat kalau ia cemberut.

“Sini deh, gue peluk,” godaku, “Sebagai permohonan maaf.. Hahaha..”

“Lo mau gue bunuh?” jawabnya sambil tertawa. Ia turun dari motornya dan duduk di salah satu kursi di pekarangan rumahku. Aku mengikutinya dan mengambil kursiku persis di sampingnya.

“Jo, tadi bokap gue..”

“Gue tau. Tadi Tante Dian udah cerita.”

“Menurut lo gue harus gimana, Jo?”

“Yah, berdoa aja,” Ia membetulkan letak kacamatanya, “Gue percaya suatu saat nanti Om Hery pasti mau ngerti. Mungkin sekarang ini dia cuma bisa melihat mimpinya aja, bagaimana ilmu Kimia yang dimilikinya digabungkan dengan Matematika-nya Arvan dan Fisika yang beliau harapkan dari lo, kemudian akan menghasilkan sesuatu yang spektakuler bagi keluarga lo. Tapi percayalah, saat beliau membaca karya-karya lo dengan hatinya, bukan hanya dengan otaknya, beliau pasti bisa melihat kalo tulisan-tulisan lo itu juga nggak kalah hebat,

Aku tertegun. Setahuku, makhluk menyebalkan sekaligus menyenangkan di hadapanku ini tidak biasanya mengeluarkan petuah bijak seperti yang dilakukannya barusan.

“Ah, sok tua lo,” cibirku. “Memangnya gimana tulisan-tulisan gue menurut lo?”

“Mmm... jujur, gue males bacanya soalnya panjang-panjang banget,” jawabnya polos. Aku merengut. Tuh kan, iseng dia!

“Tapi.. gue ingat, gue pernah baca tulisan lo sekali. Gue baca sampai habis. Yang judulnya.. ngg.. Menumpas.. Menumpas.. Menumpas apa, ya? Gue lupa judulnya, pokoknya ada menumpas-menumpasnya gitu deh,”

“Menumpas Buta Aksara?” Aku memastikan.

“Ah, ya, itu! Menumpas Buta Aksara!” serunya semangat, “Menurut gue, lo punya magis.”

“Magis?”
“Iya. Pas gue baca tulisan lo itu, gue kayak dihipnotis gitu, deh. Gue jadi berapi-api banget pengen ikutan ngajar PAUD di RT gue. Gue gak ngerti banyak soal tulis-menulis, sih. Tapi, bedanya baca tulisan lo sama tulisan orang lain, tulisan lo tuh ada ‘rasa’-nya. Tulisan lo.. rame, padat, tapi realistis. Dan kayaknya, ada sihirnya. Jadi orang-orang yang baca tulisan lo itu jadi pengen juga ikutan ngelakuin apa yang lo tuangkan dalam tulisan itu.”

Aku terbengong-bengong. Masa sih, Jonas yang benar-benar tidak suka membaca itu bisa mengomentari tulisanku sedemikian?

***

Aku kembali membolak-balik kumpulan tulisanku. Ini sudah kali yang kesekian puluh, setelah Jonas pulang ke rumahnya satu jam yang lalu. Ternyata, maksud kedatangannya kesini adalah untuk memberikan buku yang sudah lama kuinginkan, Totto-Chan Menjadi Dewasa karya Tetsuko Kuroyanagi. Aku pernah menceritakan kepada Jonas kalau aku sangat ingin membeli buku itu—hanya saja budgetku belum cukup—dan diluar dugaanku, ia ingat dan membelikannya untukku tanpa kuminta.

Kisah Totto-Chan itu sangat menginspirasiku, menyajikan suatu sistem pendidikan yang luar biasa bagus dan erat dengan dunia anak-anak, meskipun mungkin akan dianggap aneh dan tidak wajar oleh institusi-institusi lainnya. Aku masih kelas 6 SD ketika membaca buku pertamanya, dan saat itu aku seperti ikut masuk ke dalam dunia yang diceritakan itu, lantas aku menulis esai pertamaku tentang pengaruh seorang guru yang tidak hanya diteladani dalam ilmu otak, tetapi juga ilmu watak. Kalau dihitung-hitung, sekarang aku sudah kelas XII SMA, berarti sudah enam tahun aku menulis. Tak heran map kumpulan tulisanku sudah setebal ini, pikirku sambil terus membolak-balik lembaran-lembarannya dan mengenang kisah-kisah menarik yang ada di balik setiap judul tulisanku.

Aku menghentikan jemariku ketika mataku tertumbuk pada sebuah puisi pendek yang kuhasilkan pada tanggal 23 Juni 2009. Aku memang selalu membubuhkan tanggal penulisan pada setiap karya-karyaku. Aku mengambil puisi itu dari map kemudian membacanya dalam diam.

Mungkin kini engkau tak tahu, kalau aku tidak selalu sepertimu

Biar nanti kata yang menjelaskan kepadamu,

Aku punya warnaku, untuk kebanggaanmu.

Aku mendesah seraya kembali merapikan map kumpulan tulisanku. Puisi barusan kukembalikan juga ke dalam map. Itu adalah puisi ungkapan hatiku yang ingin kutunjukkan kepada Papa kalau aku tidak selalu sama seperti Papa atau Arvan. Aku tidak menyukai ilmu eksakta seperti mereka. Aku lebih nyaman dan lebih percaya diri ketika bermain dengan pena, merangkai kata, mempelajari bahasa, dan menyusun cerita. Aku suka menulis. Menurutku, Papa memang jenius dengan rumus-rumus dan cairan kimianya. Arvan juga amat memukau ketika menulis penyelesaian soal matematika yang rumit bagi kebanyakan temannya dengan cepat dan tepat. Namun, aku merasa bersatu dengan jiwaku, bersatu dengan alam, dengan dunia sekitar, bahkan dengan khayal, ketika aku mengungkapkan sesuatu melalui tulisan. Aku merasa puas ketika tulisanku dibaca orang, dan aku ingin terus menghasilkan tulisan yang lebih baik dan semakin baik lagi.

Ketika bertemu Jonas di kelas satu SMA, aku semakin yakin kalau menulis adalah duniaku, karena aku sudah melihat bagaimana mantapnya Jonas memilih musik sebagai dunianya. Jonas, sahabatku itu, tidak jago matematika, selalu gagal dalam ilmu bahasa, dan pasti tidur ketika belajar sejarah. Namun, hanya dia yang paling bersemangat ketika kelas seni dilaksanakan. Dengan spontan ia akan memetik gitarnya, atau memijit tuts-tuts piano di ruang musik di sekolah kami, dan meminta kami menyanyi mengikutinya. Jonas yang berani mengemukakan keinginannya pindah ke sekolah menengah musik pada tahun berikutnya, meskipun harus kembali jadi kelas satu, dan juga harus bekerja paruh waktu untuk membayar biaya sekolah yang lebih mahal daripada sekolah reguler, membuatku menjadikannya sebagai contoh yang kuteladani, seorang yang rela berjuang dan berkorban demi mencapai titik maksimal dalam hidupnya.

Namun, orangtuaku berbeda dengan orangtuanya. Papaku adalah Guru Besar Fakultas MIPA—jurusan kimia di sebuah universitas ternama di bilangan Jawa Barat, sekaligus seorang peneliti yang dikontrak oleh MIT. Tidak jarang Papa pergi keluar kota, bahkan keluar negeri, untuk memberi seminar, pelatihan, mengajar, dan juga menyelesaikan risetnya. Sementara Mamaku adalah seorang pengacara, yang siap memberikan pembelaannya kepada siapapun yang benar, sekalipun Mama sering melakukannya tanpa bayaran karena orang yang dibelanya tak jarang berasal dari kalangan bawah, seperti misalnya pembantu yang mengalami kekerasan oleh majikannya.

Papa dan Mama Jonas, adalah orang-orang yang tidak terlalu ekstrem terhadap pendidikan anaknya, sekalipun karier mereka tidak menjulang seperti orangtuaku. Papa Jonas hanya lulus SMA, dan kini bekerja sebagai seorang pegawai di perusahaan swasta yang sederhana, penghasilannya tidaklah berlimpah, namun cukup untuk kehidupan keluarga mereka—Jonas dan adik perempuannya. Mama Jonas mencari penghasilan tambahan dengan berjualan nasi di depan rumah setiap pagi. Mereka berprinsip sederhana, kedua anaknya boleh sekolah apapun dan boleh kerja apapun, selama pekerjaan mereka halal dan mereka dapat maksimal di bidang yang mereka pilih.

Pernah aku menginginkan posisi Jonas. Pasti enak rasanya punya orangtua seperti orangtua Jonas yang mendukung keputusan anak-anaknya, tidak otoriter seperti Papaku. Tapi, melihat Mama yang setia mendukungku dengan membaca dan mengomentari karya-karyaku, aku yakin aku lebih berbahagia daripada Jonas karena orangtuaku dilengkapi dengan prestasi akademik yang memukau, sehingga pola pikir mereka luas dan up to date. Aku menganggap Papa hanyalah sebuah alat Tuhan untuk memprosesku menjadi penulis yang tangguh, yang tidak gampangan.

Namun pendapat itu mulai luntur ketika suatu malam Papa yang baru pulang dari kampus tempatnya mengajar langsung marah dan merobek-robek tulisanku yang sedang dibaca Mama karena ia menerima laporan dari Pak Toni, guru Fisikaku, kalau nilai ujianku tentang gaya sentrifugal masuk dalam urutan nilai rendah. Sejak saat itu aku tidak suka Papa—bahkan mungkin aku sudah mulai membenci dan menyimpan akar pahit terhadapnya. Aku merasa Papa yang seperti itu tidak pantas disebut Papaku. Menakutkan, menghantui setiap malam-malamku. Tanpa sadar aku menjauhi topik tentang figur ayah dalam tulisan-tulisanku. Dalam semua karya-karyaku, baik itu cerpen, esai, mapun puisi, aku tidak pernah memasukkan tokoh seorang ayah. Kalaupun aku menyertakan peran ayah dalam cerita-ceritaku, sosok mereka selalu digambarkan sebagai tokoh jahat atau penyebab kesulitan. Ayahnya meninggal, ayahnya selingkuh, ayahnya dipenjara, dan sebagainya. Yang pasti kehadiran tokoh ayah selalu kuhindari, karena ketidaksukaanku terhadap Papa.

“Shera! Shera!”

Tiba-tiba lamunanku buyar mendengar suara lantang Papa memanggilku. Spontan aku melihat jam dinding di atas meja belajarku, pukuk sembilan malam tepat. Ya ampun! Ini adalah waktu yang ditentukan Papa untuk mengoreksi soal-soal Fisikaku, padahal dari tadi aku tidak mengerjakan satupun daripadanya! Astaga, aku benar-benar lupa. Habislah aku malam ini, batinku. Segera aku meletakkan mapku ke dalam laci, mengambil buku latihan fisika yang tak karuan tebalnya, beserta alat-alat tulis yang kuperlukan, dan berlari menuju ruang baca di bawah.

Semenit kemudian, sesuai perkiraanku, santapanku yang sebenarnya dimulai. Malam yang panjang dengan omelan Papa dan akan berujung dengan hukuman mengerjakan seratus soal ditunggui Papa dan tidak boleh tidur apabila masih ada yang salah.

***

“Muka lo kusut banget, Ra?” tanya Jonas ketika kami sedang dalam perjalanan menuju sekolah menggunakan motornya. Setelah Jonas pindah ke sekolah menengah musik, kami memang sudah tidak satu sekolah lagi. Namun karena sekolah barunya masih searah dengan sekolahku, setiap hari Jonas selalu menjemputku.

“Semalam ronda lagi,” jawabku enteng, lantas aku menguap lebar.

“Berapa soal?”

“Seratus lima puluh! Dapat tambahan lima puluh lagi karena katanya UMPTN sebentar lagi. Huuh,”

“Hahaha...” Jonas tertawa keras, lalu menoleh ke arahku. “Anggap saja latihan tangan, kalau nanti lo udah jadi penulis terkenal yang harus nulis beratus-ratus lembar, jari lo udah gak keriting lagi ngetik di laptop,”

“Dasar lo!” dengusku.

“Eh, ngomong-ngomong, lo udah jadi bikin masterpiece baru?”

“Ya belum, lah! Orang dicekokin angka-angka melulu tiap hari. Gimana gak kusut otak gue? Tapi kayaknya gue udah ada gambaran pengen bikin tulisan baru. Gue pengen bikin puisi balada. Itu lho, puisi yang isinya kayak--” tiba-tiba ucapanku terpotong oleh seruan antusias Jonas.

“Sher, gue baru ingat! Tar lo pulang biasa kan? Gak ada ekskul kan? Lo mau ikut talkshow dan bedah bukunya Radian Purnama gak? Kalo lo mau gue jemput jam dua..”

“Mau, mau! Dimana acaranya?”

“Di Gramedia Matraman, jam tiga sampai jam lima..”

“Oke, jemput gue. Thank’s yah, Jo,”

Aku tersenyum bahagia. Amat bahagia malah. Rasanya semua penderitaanku karena hukuman Papa semalam terbayar sudah. Aku dapat kesempatan talkshow bersama Radian Purnama, penulis kegemaranku!

Semoga hari ini bahagia...

***

“Kak Shera!”

Sekelompok anak-anak kelas X menghampiriku. Mereka membawa map plastik warna hijau berisi kertas-kertas di dalamnya.

“Kakak dipanggil Bapak Kepala Sekolah di kantor guru.”

***

“Ada apa, Pak?”

“Shera, kamu ingat karya tulismu yang berjudul Pelangi Untuk Indonesia?”

“Ya Pak, saya ingat. Saya menulisnya tiga bulan yang lalu untuk Lomba Mengarang Tingkat Nasional. Memangnya kenapa Pak?”

“Tadi pagi Bapak ditelepon Dinas Pendidikan. Katanya, karyamu menang Lomba Mengarang Tingkat Nasional. Karyamu itu akan di-endorse oleh Mendiknas untuk dikirimkan ke PBB, dan nantinya akan diikutsertakan Lomba Mengarang Sedunia yang diadakan PBB. Kamu setuju, Shera?”

“Benarkah, Pak? Saya setuju, Pak! Sangat setuju!”

“Dan kamu juga diundang untuk hadir ke kantor Mendiknas tanggal 5 Mei jam delapan pagi. Bersiap, ya.”

Aku terdiam. 5 Mei, jadwal UMPTN-ku. Ujiannya dimulai pukul sembilan pagi. Berarti pukul delapan minimal aku sudah menuju UI. Tapi, undangan Mendiknas ini...

“Kenapa, Shera? Kok kamu jadi bengong begitu?”

“Ngg.. Tidak apa-apa kok, Pak. Nanti saya tanyakan orangtua saya dulu ya, Pak?”

“Ya. Nanti kabari Bapak lagi, ya. “

“Pasti, Pak.”

“Selamat ya, Shera,” Bapak Kepala Sekolah menjabat tanganku.

“Terimakasih, Pak.”

Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana respon Papa kalau kubilang aku mau membatalkan keikutsertaanku dalam UMPTN karena aku diundang Pak Menteri.

Seketika, langitku rasanya jadi abu-abu.

***

Malamnya, aku tiba di rumah jam setengah tujuh. Papa belum pulang, jadi aku aman. Tadi di sekolah aku sudah menelepon Mama dan beliau mengizinkanku ikut talkshow-nya Radian Purnama. Setelah talkshow selesai, aku dan Jonas makan nasi goreng di warung depan kompleks rumahku.

Sungguh, acara talkshow tadi sangat menginspirasiku. Kak Radi, begitu panggilan akrab Radian Purnama, menyemangati hadirin yang rata-rata penulis muda sepertiku. Kami diminta berbagi tentang pengalaman menulis kami, dan aku mendengar banyak pengalaman baru yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ada seorang mahasiswa yang harus menulis semua tulisannya murni dengan tangan, karena tidak punya uang untuk membeli laptop. Ada yang selalu terjebak writer’s block sehingga tidak bisa luas mengembangkan ide-nya, padahal maksud yang ingin disampaikannya begitu sarat makna.

Akupun sempat bercerita tentang persoalanku, dimana Papa tidak mengizinkan aku menulis. Aku juga minta nasehat Kak Radi tentang pilihan yang harus kuambil, ikut UMPTN atau datang ke kantor Mendiknas. Dan aku amat senang ketika mendengar jawaban Kak Radi yang amat menguatkanku.

“Saya dulu juga seperti kamu. Papa Mama saya menginginkan saya masuk teknik sipil. Kamu baru mau UMPTN, saya bahkan sudah lulus tes dan tinggal datang ke kampus saja. Tapi saya tetap berjuang untuk menulis. Dua hari sebelum perkuliahan dimulai, datang surat ke rumah saya yang isinya pengumuman kalau saya menjuarai lomba karya tulis UNESCO tentang budaya Indonesia. Saya dapat beasiswa kuliah sastra di Amerika dan langsung diangkat jadi duta UNESCO. Akhirnya Papa dan Mama saya luluh juga, saya diizinkan kuliah sastra.

Saya percaya kamu lebih berpeluang daripada saya, asalkan kamu terus bertekun dan menghasilkan yang terbaik. Sekeras-kerasnya Papamu menentang kamu menulis, tapi mana ada orangtua yang tidak luluh kalau anaknya sudah berhasil di bidang yang diminatinya? Soal pilihan UMPTN atau lomba, saya tidak bisa menyarankan kamu memilih yang mana. Yang pasti berjuanglah, pilih yang terbaik dan ingat kalau kesempatan tidak selalu terulang. Kalau kamu merasa UMPTN lebih penting bagimu, majulah, lakukan yang terbaik supaya kamu lulus UI. Tapi kalau lomba mengarang tingkat dunia lebih penting, nyatakan dan lakukan yang terbaik juga. Pada intinya, lakukan yang terbaik dan jangan pernah menyesal atas pilihanmu. Penyesalan selalu datang belakangan.”

***

“Ma..”

Aku menghampiri Mama yang sedang membaca majalah di ruang baca. Mama langsung meletakkan majalahnya di meja dan menyediakan tempat untukku.

“Ada apa, Sayang? Jonas memintamu jadi pacarnya?”

“Ma, please, hentikan semua olok-olok itu. Aku serius.”

“Oh, oke. Ada apa, putri kecilku?”

“Ma, tanggal 5 Mei nanti..”

“Kamu UMPTN, kan?”

“Ya,” desahku, “Dan pada saat yang bersamaan, aku diundang hadir ke kantor Mendiknas. Karya tulisku yang diikutkan Lomba Mengarang Nasional mewakili sekolah terpilih menjadi juara, dan akan dikirimkan ke PBB. Tanggal 5 Mei nanti aku diundang bertemu Pak Menteri, Ma.”

“Bagus dong, Sayang? Kenapa kamu tampaknya tidak senang?”

“Memang bagus, Ma. Tapi..”

“Mungkin ini jawaban doamu, Shera. Tuhan sudah berikan peluang istimewa yang tidak bisa diperoleh teman-temanmu yang lain. Ini saatnya kamu membuktikan kepada dunia, khususnya kepada Papamu, kalau kamu bisa berhasil dan maksimal di bidang pilihanmu.”

“Tapi.. Papa..”

“Kamu sudah mendoakan Papamu sungguh-sungguh?

“Sudah, Ma. Selalu setiap malam.”

“Mujizat pasti terjadi untukmu, Sayang,” Mama menciumku hangat, “Mama yakin, inilah saatnya.”

***

To: My Little Shera (shera_sentences@yahoo.com)

From      : arvandy.setiadarma@yahoo.com

Date       : May 3rd, 2011 – 7:48 PM

Halo Dede, apa kabar kamu? Apa kabar Papa-Mama? Pasti tambah seru ya kalian di Jakarta. Sorry ya de, Abang baru bisa kirim email sekarang. Project-ku banyak banget.

De, kemarin mama cerita banyak soal keberhasilanmu menulis. Selamat, ya! Abang tau Papa gak suka kamu nulis. Papa mau kamu ambil S1 Fisika UI kemudian ke MIT kayak Abang, kan? Pilihan Papa itu sebenarnya baik, lho. Papa nggak mau menyia-nyiakan kepintaran yang ada padamu. Tapi mungkin cara Papa aja yang salah, kesannya otoriter dan jadi menekan kamu. Jangan benci Papa, ya, De. Papa kan sayang banget sama kita berdua. Kalau kamu lebih suka menulis, gak masalah. Masuk sastra aja. Abang masuk Matematika memang ada sedikit unsur paksaan dari Papa, sepertimu juga. Tapi kalau akhirnya Abang bisa bertahan, bahkan ambil S2 sampai sekarang ini, sudah bukan karena Papa lagi, melainkan karena Abang juga tahu kalau matematika adalah cinta Abang, dan Abang sudah yakin betul kalau Abang akan sukses di bidang ini

Untuk pilihanmu, semua kembali padamu. Hidupmu adalah milikmu. Kamu sendiri yang tahu di mana kamu maksimal. Pilihlah yang terbaik, jangan menyesal kemudian. Kirimi Abang karya-karyamu ya De. Abang pengen baca.

Selamat Sukses Dede,

Arvandy Setiadarma

***

To           : Abangku (arvandy.setiadarma@yahoo.com)

From      : shera_sentences@yahoo.com

Date       : June 18th, 2011 – 3:13 PM

Abangku yang paling ganteng sedunia, apa kabar?

Bang, Shera udah lulus UN kemarin. NEM-ku lumayan tinggi, tapi nilai fisikaku Cuma 70.25 (Gimana bisa masuk MIT kayak Abang ya? Hehehe)

Abang, thanks for your advice, ya. Kemarin itu aku nggak jadi UMPTN. Aku ke kantor Mendiknas diantar Jonas. Tadinya Papa sempat gak terima. Kata Mama, Papa gak mau hadir dan bahkan Papa juga gak ngizinin Mama pergi melihatku. Tapi karena Mama maksa Papa terus, akhirnya mereka pergi juga ke kantor Mendiknas. Mereka datang bertepatan waktu aku lagi difoto bareng Pak Menteri. Akhirnya Papa luluh juga, deh.

Papa ngizinin aku masuk sastra, Bang. Selesai lomba ini, aku akan daftar di UI. Langsung masuk tanpa tes, Bang. Sekarang Papa juga sudah nggak freak sama dunia science-nya lho, Bang. Beliau sudah mau terbuka sama hal-hal menyenangkan lainnya. Hari Minggu kemarin aja Papa mau ikut aku ke acara talkshow-nya Raditya Dika.

Abang pulang dong kesini waktu liburan. Shera udah kangen sama Abang. Sekali lagi makasih ya, Bang.

Love,

Ashera Setiadarma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun