Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bandung: Menyelesaikan Masalah ke-4, Perwujudan Kota Berkeadilan yang Keliru

27 November 2016   17:24 Diperbarui: 27 November 2016   17:31 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara mudah Just City dapat diartikan sebagai kota yang berkeadilan. Kota Bandung mencanangkan dirinya sebagai kota HAM, yang walaupun bukan berarti Kota Bandung sudah menjadi kota betul seratus persen menjadi Kota yang menjunjung Hak Asasi Manusia namun menjadi pondasi awal untuk mewujudkan impian tersebut. 

Penulisan ini bukan bertujuan untuk menjelekkan dan mendiskreditkan harapan Walikota Bandung, tetapi berbagai macam sudut pandang melalui potensi dan ancaman yang menghadang di depan. Dengan harapan dapat menjadi masukan untuk keberjalanan Kota Bandung yang saya cintai ini.

Jika dilihat secara pengambilan keputusan dalam menentukan keputusan yang melibatkan publik, kota yang berkeadilan harus melibatkan masyarakatnya (Manajemen Demokrasi). Dalam awal kepemimpinannya RK banyak membangun berbagai jenis ruang terbuka untuk dapat menginisiasi penduduknya agar bisa berkomunikasi dan berkreativitas. 

Tetapi perlu ditarik lebih dalam lagi, apakah setiap pembangunan taman/ruang terbuka di Kota Bandung telah melibatkan masyarakat. Apakah pembangunan Taman Film, Taman Lalu Lintas, dan taman-taman lainnya telah melibatkan masyarakatnya? Terdapat kekhawatiran bahwa ini hanyalah berada di benak walikota saja. Bisa jadi segala bentuk taman serta naman-namanya yang kekinian tidak sesuai dengan karakteristik masyarkat lokalnya.

Atau sudah setujukah warga Bandung akan pembangunan yang memperindah Bandung secara fisik? Skyawalkyang dibangun di atas jalan Cihampelas, Comand Centeryang menghabiskan dana 30 milyar), kereta gantung (1 Triliyun dengan bantuan investasi Tiongkok, dan utang kepada Asian Development Bank), metro capsule (500 milyar). 

Program-program ini menelan biaya yang banyak. Butuhkah warga Bandung akan segala program ini? Di satu sisi terjadi Banjir Bandung di Selatan yang menelan korban jiwa, Pedagang Kaki Lima yang semakin termajinalkan (sampai ada yang bunuh diri melompat dari jembatan di dekat Alun-Alun Kota Bandung).  Indikasi terjadinya error tipe tiga (penyelesaian masalah yang benar pada kasus tertentu, namun bukan akar masalah yang penting dan dibutuhkan) telah terjadi. Kembali menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang warga Bandung betul-betul butuhkan.

Lalu berikutnya bagaimana dengan akses yang seharusnya bisa dinikmati secara publik, namun ada indikasi adanya privatisasi oleh pihak swasta. Pembangunan projek-projek tersebut tidaklah murah, hingga akhirnya Walikota RK harus berpergian sampai ke Eropa dan Korea untuk menjalin kemitraan untuk pendanaan. 

Memang bagus bahwa investasi semakin banyak mengalir ke kota Bandung dan pihak Pemkot tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Namun. Ibaratnya sebuah perusahaan, pemilik saham terbesar lah yang akan menjalankan perusahaan besar itu. Sistem Public Private Partnership(pendanaan kebutuhan publik oleh privat) juga memiliki bayangan. Terdapat kemungkinan segala program yang ditujukan secara publik tidak bisa diakses secara besar, alias barang publik menjadi semi-publik atau privat (jadi harus bayar, yang sebelumnya tidak karena kepemilikan oleh swasta).

Seperti contoh pembangunan Hotel Pullman di dekat Gasibu (lapangan terbuka publik). Terdapat banyak kontra bahwa hotel ini seharusnya tidak terbangun secara berlebihan (lantai yang telalu tinggi, terdapat ruang konfresni tingkat kota) yang dapat menyebabkan kemacetan. Dan lebih parahnya terdapat indikasi bahwa dibawah bangunan ini tersimpan sumber daya air yang seharusnya tidak boleh ada bangunan bertingkat yang terlalu tinggi. Butuh dana, Pemkot Bandung lalu mengijinkan pembangunan Hotel ini dengan syarat pendanaan Gasibu ini didanai oleh mereka. Mekanisme pembiayaan pembangunan ini memang lazim dilakukan di berbagai kota dan memang tidak ada hukum yang dilanggar. Tapi kembali lagi ke awal paragaraf saya, who pays get what.

Sebuah kota yang berkeadilan juga harus memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan supaya kota itu dapat berlangsung melaui kebijakan yang diciptakan. Pemkot Bandung sudah bekerja keras untuk mengerem pembangunan hotel-hotel yang berlebihan karena dapat menurunkan daya tahan kualitas tanah. Belum cukup. 

Seperti contoh pembangunan hotel De Maj di Dago Atas yang memicu kontra di kalangan tim pengawas bangunan Bandung. Kemiringan lereng yang dalam ambang bahaya tetap dilanjutkan pembangunan (memang izin pembangunan ini dikeluarkan oleh Dede Rosada walikota sebelumnya yang menjadi terpidana korupsi). Namun mengapa sampai sekarang tetap berlanjut. Akhirnya kebobrokan bangunan ini terbukti, dengan terjadinya retakan dan longsor kecil yang menimpa warga sekitar, apakah ada transaksi dibelakang ini? Mari hanya berasumsi saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun