Berbagai kasus pembobolan dana nasabah di beberapa bank bukan hal baru. Jika kita mencermatinya, tidak ada teknik dan modus yang tergolong canggih. Rangkaian kegiatan untuk mengelabui nasabah dan bank masih menggunakan pola lama yaitu seputar manipulasi dokumen, maupun data, yang seharusnya bisa diantisipasi nasabah dan bank sejak awal. Namun pertanyaannya, mengapa praktik pembobolan dana bank yang berlangsung lama ini baru terdeteksi?. Jika dilihat dari berbagai pola yang terbentuk, munculnya kasus pembobolan dana bank ini bermula dari satu celah, dimana bank terlalu percaya (over trust) kepada karyawan.
Kata "bank" di sini dapat diartikan sebagai manajemen atau staff lainnya yang mempunyai fungsi kontrol. Kepercayaan tinggi pada karyawan yang dianggap berprestasi atau karyawan yang dianggap "good guy" memang bisa membuat bank lalai dan akhirnya membiarkan terjadinya pengabaian sistem dan prosedur dalam proses transaksi bank. Hal itu meliputi proses identifikasi, analisis, otorisasi, dan review.
Kita tentunya tidak percaya bahwa sekelas bank asing yang punya reputasi internasional atau bank-bank nasional tidak memiliki sistem pengendalian internal (internal control system) yang baik. Setiap bank pasti memiliki sistem pengendalian intern yang telah disesuaikan dengan tingkat kompleksitas bank terkait. Bank Indonesia (BI) juga telah melakukan review dan penilaian atas keandalan sistem pengendalian suatu bank secara periodik. Dengan kata lain, BI telah mengetahui tingkat keandalan pengendalian intern setiap bank.
Berbicara mengenai kondisi over trust, kasus pembobolan dana (nasabah) bank tersebut terjadi bukan karena tidak ada sistem pengendalian intern, melainkan karena tidak dijalankannya sistem pengendalian intern tersebut sebagaimana mestinya. Kondisi ini bermula karena ada sikap over trust yang timbul dari subjektivitas manajemen bank. Akibatnya,banyak proses yang seharusnya dilalui akhirnya dilewati begitu saja, padahal proses tersebut penting sebagai checking setiap transaksi bank yang prudent.
Kasus pembobolan dana (nasabah) bank yang terjadi di salah satu bank asing saat ini mengingatkan kita pada kasus Baring Brothers (Barings) pada 1995. Barings merupakan bank tua di Inggris (berdiri sejak 1762), akhirnya harus bangkrut setelah merugi 827 juta poundsterling dalam transaksi trading di pasar uang. Penyebab kerugiannya pun sangat konyol, dimana Barings terlalu percaya pada trader mudanya, Nicholas Leeson, 28, yang bekerja di Singapore Futures Exchange. Orang yang biasa dipanggil Nick Leeson ini telah dianggap sebagai trader brilian karena dalam setiap transaksi trading-nya menghasilkan untung besar. Barings akhirnya menaruh kepercayaan yang tinggi serta menempatkan Nick Leeson, yang seorang trader ini juga berperan sebagai manajer pelaksana dan pencatat settlement, peran yang seharusnya dipegang oleh orang yang berbeda dalam rangka internal control enforcement.
So, this is the wrong step. Nick Leeson ternyata telah melakukan sejumlah manipulasi data dan informasi. Leeson berhasil menyembunyikan kerugian yang berasal dari posisi trading-nya yang terus meningkat hingga dua tahun sampai akhirnya muncul ke permukaan. Salah satu penyebab keadaan tersebut adalah kegagalan proses dan prosedur pengendalian intern dan kegagalan penerapan pengendalian internal ini karena over trust manajemen Barings kepada karyawannya. Sebelum kasus Nick Leeson, kasus serupa telah terjadi di Indonesia. Kasus Bank Duta (1990) yang mengalami kerugian USD 420 juta akibat ketergantungan yang berlebihan pada karyawan/pejabat kunci.
Kasus Melinda Dee pada tahun 2011 yang mengakibatkan kerugian nasabah sampai Rp 40 M. Modusnya di Bank Duta adalah, transaksi valas yang dilakukan salah satu direkturnya tidak melalui proses otorisasi semestinya. Yang bersangkutan melaksanakan transaksi untuk kepentingan bank sejalan dengan transaksi untuk kepentingan sendiri secara bersamaan. Sayangnya, perlakuan atas konsekuensi yang timbul dari transaksi yang dilakukannya berbeda. Apabila transaksi menguntungkan, dilakukan pencatatan terhadap rekening pribadi. Sebaliknya, jika merugikan, akan dicatat sebagai transaksi yang dilakukan Bank. Sedangkan Kasus Melinda Dee, modusnya adalah melakukan proses pemindahbukuan dana nasabah melalui instruksi fiktif sebanyak 40 item yang kemudian ditransfer ke seumlah rekening yang telah dipersiapkan sebelumnya yaitu milik suami dan anggota keluarga lainnya. Begitu juga beberapa case pembobolan atau yang bisa saya sebut fraud seperti yang terjadi di beberapa cabang di Jatim atau daerah lainnya.
Branch Supervision di dalam tataran mikro merupakan sebuah elemen sistem pengawasan dan pengendalian yang paling memungkinkan. Di dalam konsep pengawasan ini terdapat beberapa hal yang menjadi dasar, seperti Leadership, Branch Manager sebagai seorang pimpinan di dalam cabang dituntut untuk mempunyai pola leadership yang bagus dalam arti mempunyai keseimbangan di dalam business judgment serta risk knowledge dan risk mitigation.
BM (Branch Manager) adalah satu diantara beberapa elemen di cabang yang mempunyai peran sangat vital dalam menentukan arah, strategi kebijakan, dan risk management dimana seorang BM harus mampu menunjukkan perannya sebagai seorang pengarah dengan keseimbangan antara Business Skill dan Risk Apetite. Hal ini juga berlaku untuk elemen leader lainnya di dalam sebuah cabang termasuk operation manager dan business manager. Lalu ada Skill and Knowledge untuk single role maupun multi role leader. Single role leader adalah jabatan dengan peran khusus seperti Operation Manager dimana dia hanya mempunyai fokus terhadap fungsi operasional cabang sedangkan multirole leader adalah fungsi jabatan pengarah dimana dia bertanggung jawab penuh baik dari sisi operasional maupun bisnis.
Kesimpulan dari semua ini adalah rentetan pembobolan dana (nasabah) bank di atas sejatinya bermula dari ketidaktaatan bank dalam menerapkan sistem pengendalian intern secara konsisten, akibat sikap "over trust" manajemen bank kepada karyawan kunci atau kepada nasabah atau treatment yang dijalankan selama ini. Yang terakhir ini mengapa bisa kita sebut sebagai salah satu penyebab fraud? Misal, cabang  A mempunyai nasabah besar sebut saja B. dengan treatment khusus karena dia adalah nasabah besar dan frekuensi transaksinya cukup sering maka membuat pihak bank entah itu sales atau operationnya begitu sangat percaya dengan nasabah ini dan akhirnya kepercayaan tersebut membuahkan "treatment khusus". Suatu saat treatment khusus ini bisa saja "dicium" oleh pihak fraudster yang nantinya bisa dimanfaatkan jika ada celah.