Angkasa luas dan mimpi yang tak berbatas.
Seulas awan tersapu memanjang vertikal menghias kubah langit. Seperti seorang pelukis mengusapkan kuasnya dengan tergesa. Memayungi dua orang sahabat yang sedang memancing dalam keheningan.
“Kamu sudah tanya?” tanya Pak Kepsek Dadang dengan muka gelisah memecah kesunyian.
Pak Rusli Rusliwa tidak bergeming. Dia menatap dengan serius mata pancingnya. Bayangan Pak Rusli Rusliwa yang sedang berkonsentrasi tingkat dewa terpantul dengan jelas dari air danau yang jernih. Topi pancing lusuh dengan beberapa helai benang tersembul. Mukanya kusut.
Mereka duduk saling memunggungi. Ikan-ikan enggan menghampiri umpan yang mereka sematkan. Seakan tahu dua sahabat itu sedang gelisah.
“Jadi?” tanya Pak Kepsek Dadang sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih tegas. Melirik pada sahabatnya yang dari tadi tidak melakukan pergerakan sedikit pun.
“Sudah.” Jawabnya pendek. Untuk jawaban sependek itu saja diperlukan beberapa menit yang membuat penampakan pak Kepsek Dadang semakin kesal. Dia bahkan menarik kailnya. Mengganti umpan agar tak disepelekan oleh kawanan ikan.
“Terus??”
Pak Rusli Rusliwa seakan tidak mau terkecoh dengan rasa penasaran Pak Kepsek Dadang. Dia sendiri terus berkonsentrasi.
Pertanyaan-pertanyaan Pak Kepsek Dadang hanya membuat ikan-ikan melenggang ria. Seperti para mami cantik mengantarkan anaknya ke sekolah.
“Menurut aku ini kesempatan menarik.” lanjut Pak Kepsek Dadang. Dia melemparkan tali pancingnya sedikit menyerong dari yang sebelumnya. Perahu bergerak, riak air menimbulkan gelombang dan membuat mata kail Pak Rusli Rusliwa ikut bergerak. “Kita butuh umpan yang tepat untuk memancing mereka. Bagaimana?!”