Kami hanya segelintir orang yang tidak mau melewatkan tayangan peringatan detik-detik proklamasi yang disiarkan oleh seluruh stasiun televisi tepat pada tanggal 17 Agustus jam sepuluh pagi.Â
Mungkin terdengar aneh, karena banyak orang yang kami kenal malah tidak pernah menonton bahkan menanyakan dengan nada heran mengapa kami begitu antusias menonton tayangan tersebut. Upacara penaikan Sang Saka Merah Putih dan sore harinya Upacara penurunan.
Dulu ketika kami masih kecil sering mengkhayal bisa mengikuti peringatan detik-detik proklamasi di Istana Negara langsung. Kakak-kakak dan adik bungsu saya sangat terkagum-kagum pada barisan yang berjejer rapi seperti patung. Ketika melangkah, derap langkah sepatu berirama. Mengayun seragam. Makanya tidak heran ketika SMA mereka menjadi anggota Paskibraka.Â
Meski tidak sempat berbaris di Istana Negara, mereka bisa berbaris di tingkat provinsi. Ada juga yang bisa berkunjung ke istana tetapi tidak pada tanggal 17 Agustus. Saya lupa dalam rangka apa kakak saya ke Istana Negara tetapi dia pergi menggunakan seragam Paskibraka. Empat dari enam orang di keluarga kami adalah anggota Paskibraka. Hanya saya dan adik saya satu lagi yang menghindari ekstra kulikuler yang berbau baris-berbaris atau kegiatan ala-ala militer.
Sebetulnya saya juga ingin bisa mengikuti peringatan detik-detik proklamasi di Istana. Ketika saudara-saudara saya yang lain begitu menganggumi pada pasukan yang berderet, justru saya malah tertarik untuk bisa menjadi orang yang mengikuti upacara di sana sebagai peserta yang duduk. Berdiri di kala protokol memerintahkan berdiri.Â
Saya sadar betul untuk bisa sampai di sana saya harus mempunyai prestasi yang membanggakan. Menjadi atlet yang memboyong banyak medali misalnya. Atau menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Seseorang yang mengharumkan nama bangsa dan negara. Dan ketika saudara-saudara saya sibuk untuk jadi pasukan pengibar. Bangga dengan seragam putih. Saya pun sibuk mencari cara agar bisa sampai ke Istana tanpa harus ikutan baris berbaris.
Satu hal lagi ketika menyaksikan tayangan ini, saya dan saudara-saudara selalu memanjatkan do'a dan mengirim Al-Fatihah untuk Aki. Tepat ketika Mengheningkan cipta dimulai. Ketika meriam dan bunyi sirine berkumandang.
Aki (kakek) adalah seorang pejuang  yang turut merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dari cerita Bapak. Aki sering kali harus menginap di penjara dan hanya Bapak-lah yang diizinkan Aki untuk menengoknya. Meski perjuangan Aki tidak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Hingga akhir hayatnya Aki tidak mau menerima uang pensiun. Menurut Bapak, bagian Aki diberikan kepada rekan seperjuangannya yang kurang beruntung.Â
Banyak yang tidak mengetahui perjuangan Aki dan rekan-rekannya. Satu cerita yang membekas adalah cerita pertempuran di sekitar Banjaran - Soreang Kabupaten Bandung menjelang Idul Fitri. Lengkapnya bisa dibaca di Pertempuran Sasak Rawayan. Sebuah pertempuran yang dramatis dan sering kali membuat saya berurai air mata ketika membaca dokumen pertempuran itu.Â