Untuk kesekian kalinya ulang tahun Bandung disambut dengan onggokan sampah di hampir seluruh penjuru kota. Penyebab onggokan sampah kali ini adalah terbakarnya tempat penampungan akhir sampah. Gas methane yang dihasilkan sampah dan kemarau yang sangat menyengat akibat perubahan iklim diduga sebagai penyebab kebakaran di tempat penampungan akhir sampah Kota Bandung.
Tempat penampungan sampah sementara sudah tak mampu menampung. Beberapa warga dengan 'kreatif' menaruh buntalan-buntalan sampah di pinggir jalan. Mungkin berharap ada malaikat yang akan membersihkan sampah-sampah yang mereka taruh.Â
Sampah-sampah terbengkalai di mana-mana. Di bawah lampu-lampu jalan, rambu-rambu lalu lintas, atau ruang kosong yang beralih fungsi jadi tempat sampah. Mengundang beberapa hewan yang akan menyebarkan penyakit.
Konsep kreatif menaruh sampah ini membuat Bandung semakin heurin usik (sesak). Sudah macet, panas, ditambah aroma sampah. Secara visual juga jadi sareukseuk (tidak enak dipandang mata, lawan kata asri). Komplikasi yang jelas membuat emosi jiwa yang asalnya tingkat kelurahan bisa jadi naik pitam tingkat nasional.
Sebagian besar warga Bandung berharap pemerintah segera turun untuk membersihkan sampah-sampah itu dengan mengerahkan banyak petugas kebersihan. Dengan kata lain, warga yang tergabung dalam kelompok ini hanya menyalahkan pemerintah untuk permasalahan sampah. Dalam pikiran mereka solusi permasalahan sampah adalah mengerahkan petugas kebersihan. Perkara sampah akan dikemanakan tidak ada dalam radar kepedulian mereka.
Sedangkan warga Bandung (termasuk saya) adalah produsen sampah, makhluk penghasil sampah yang menyumbang sampah bagi kota Bandung. walau saya tidak membuangnya dengan menelantarkan sampah bertumpuk di jalanan.
Setiap pagi ketika akan melangkah ke tempat kerja, saya mampir dulu ke warung. Entah itu beli gorengan, cemilan, kue basah di mana saya akan menghasilkan sedikitnya dua sampai tiga plastik pembungkus di pagi hari.
Saya bukan penggemar minuman kemasan. Jadi, produksi sampah minuman bisa di-skip. Saat makan siang, ramai-ramai dengan teman-teman kerja membeli seblak atau spageti tulang, menu kolaborasi Bandung dan Milan. Dikemas dalam styrofoam plus tambahan sendok plastik. Pakai kantong kresek juga. Minumnya jus jambu. Pakai gelas plastik dan sedotan. Lanjut ketika pulang kerja, entah itu beli martabak, roti bakar, sate. Di-jumlah-jamleh entah berapa banyak sampah yang saya produksi dalam satu hari.
Sekarang ditambah lagi dengan kebiasaan belanja secara daring. Gratis ongkir pula. Oh, tentu saja gratis ongkir ini sangat menggoda karena kita tidak harus mengeluarkan ongkos kirim (tentu saja) atau ongkos (energi) untuk pergi ke minimarket. Tidak perlu bayar parkir. Bahkan, kita bisa dapat harga promo. Nikmat mana lagi yang harus didustakan?
Setiap barang yang dibeli akan dibungkus menggunakan bubble wrap. Itu sudah ketentuan, bahkan kita sebagai konsumen meminta untuk dibungkus bubble wrap serapi mungkin agar barang yang dipesan tidak rusak akibat pengantaran. Dan sekarang tumpukan bubble wrap semakin menggembung. Â Â
Sebagai produsen sampah rasanya gak elok membebankan permasalahan sampah hanya pada pemerintah. Berharap pemikiran ini tidak akan memancing opini, "jika begitu, mereka kerja apa dong?"Jangan sampai ada yang berpikir seperti itu.
Dengan bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ini-- kebakaran, banjir, kekeringan, perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen-- sebagian besar disumbang dari sampah, rasanya sudah saatnya kita sebagai penghasil sampah untuk mengontrol produksi sampah harian.
Pemerintah Kota Bandung sebetulnya tidak tinggal diam dalam mengatasi permasalahan sampah. Di awal kepemimpinan Alm. Mang Oded (walikota Bandung 2018 - 2021) menggagas Kang Pisman, akronim dari Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan. Sayangnya, sampai saat ini banyak yang kurang mengenal program Kang Pisman, padahal sudah berjalan hampir tujuh tahun.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung melalui akun Instagramnya mengajak warga Kota Bandung untuk melakukan program Kang Pisman-- mengurangi sampah, melakukan pemilahan, dan memanfaatkan sampah, sekaligus mengajak menjadi nasabah bank sampah. Meski begitu, masih banyak warga kota Bandung tidak mengenal Kang Pisman serta bank sampah DLH Kota Bandung.Â
Melihat respons warga kota Kota Bandung yang hare-hare (tidak peduli), sudah saatnya sosialisasi Kang Pisman dan Bank Sampah dievaluasi. Minimal bentuk komunikasi diperbaharui agar dapat lebih menjangkau warga kota. Bisa dengan mengadakan sosialisasi bank sampah dan pelatihan Kang Pisman untuk setiap ketua RT, ketua RW, kader, tokoh masyarakat, pemuka agama, memberikan edukasi mengenai kemasan selain sosialisasi bank sampah dan pelatihan Kang Pisman kepada pedagang dan pelaku UMKM
Acap kali sebagai konsumen, kita tidak diberi pilihan. Minta tanpa sendok, sendoknya masih dikasih. Minta tanpa sedotan, masih tetap disertakan. Atau ketika membawa kotak makan sendiri, dianggapnya tidak praktis.
Beberapa kegiatan lain yang dapat digunakan untuk sosialisasi Kang Pisman dan Bank Sampah adalah kegiatan posyandu dan acara kegiatan keagamaan. Acara kegiatan keagamaan adalah kegiatan yang paling potensial untuk sosialisasi Kang Pisman dan Bank Sampah. Pihak DLH Kota Bandung dapat bekerja sama dengan pemuka agama karena kegiatan keagamaan dalam satu minggu  banyak sekali digelar. Begitu pula peserta kegiatan ini selalu banyak.  Â
Sejatinya manusia sebagai khalifah di Bumi ini tidak berbuat kerusakan, tidak berbuat zalim terhadap lingkungan yang menyebabkan bencana. Dalam ajaran agama Islam disebutkan kebersihan sebagian dari iman. Bukan hanya meliputi akal dan perasaan, bukan soal hati dan logika, tetapi Iman. Ranah keyakinan.
Permasalahan sampah memang cukup pelik. Dalam mencari solusinya diperlukan seluruh disiplin ilmu, di antaranya ilmu sosiologi, psikologi, antropologi untuk memetakan kebudayaan dan kebiasaan dalam membuang sampah serta dalam penyerapan inovasi penanganan sampah. Pasalnya, tidak semua orang mudah menerima pembaruan.Â
Sudah bukan saatnya permasalahan sampah saling menyalahkan. Juga bukan saatnya mengharapkan satu pihak yang bergerak. Semua bergerak. Kita bergerak.
Wilujeng tepung taun Kotaku yang ke-213. sampah dan macet masih menjadi penghiasmu di ulang tahun. Semoga di tahun mendatang, julukan Bandung Swiss Van Java, Bandung Kota Kembang kembali terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H