Sampah plastik telah menjadi masalah lingkungan yang genting. Pada tahun 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sampah plastik Indonesia sebanyak  66 juta ton per tahun dan 0,26 juta hingga 0,59 juta diantaranya berakhir di laut. Laut yang merupakan habitat kehidupan biota laut menjadi terganggu kestabilannya karena keberadaan sampah plastik. Tiga ekor penyu di Kepulauan Seribu ditemukan membusuk pada tahun 2018 dengan plastik di mulut dan kaki depannya. Di Perairan Pulau Kapota Resort Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, terdampar seekor paus sperma yang mati dengan 5,9 kilogram sampah plastik di dalam perutnya. Para ahli menyebutkan bahwa kegemaran hewan laut memakan sampah plastik dikarenakan berbagai faktor. Zooplankton memakan sedimen di dasar laut yang mengandung sampah plastik lebih banyak. Hewan laut lain sering menganggap plastik sebagai makanan yang biasa mereka makan. Ada juga beberapa hewan laut dan albatros yang mencari mangsa dengan penciuman mereka. Mereka tertarik dengan aroma dimethyl sulfide (DMS) yang dikeluarkan oleh plastik. Penyu sering kali salah mengira kantong plastik dengan ubur-ubur. Permasalahan ini disebabkan oleh banyaknya sampah plastik di laut sehingga hewan laut sering salah mengira sampah plastik dengan mangsa yang biasa dimakan. Kasus ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga oleh dunia.
Sampah plastik tidak hanya membahayakan hewan laut, tetapi juga manusia. Hewan laut yang mengonsumsi sampah plastik dimakan oleh manusia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa 89% ikan teri terkontaminasi mikroplastik, kemudian dikonsumsi oleh manusia. Mikroplastik mengganggu metabolisme manusia dan menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat. Sampah plastik dalam laut menjadi tempat perkembangbiakan pembawa penyakit malaria serta menimbulkan toxic phthalates pada makanan laut. Dampak lain dari sampah plastik adalah banjir yang disebabkan oleh saluran air yang tersumbat. Banjir merugikan terutama bagi perekonomian karena jumlah biaya untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan rumah-rumah yang rusak akibat banjir. Tidak hanya dari kerusakan infrastruktur, tetapi juga kerugian akan transaksi jual-beli yang terhenti dan produk jualan yang terendam banjir serta aktivitas industri manufaktur juga terhenti. Saat bencana banjir di Jakarta pada awal tahun 2020, diperkirakan kerugian yang dialami oleh warga sekitar Rp2 triliun karena kehilangan dan kerusakan harta benda.
Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah Indonesia memberlakukan larangan penggunaan plastik secara nasional dengan PermenLHK No.75 Tahun 2019. Pemerintah daerah DKI Jakarta dan beberapa pemerintah daerah lainnya telah memberlakukan peraturan ini pada daerahnya masing-masing. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Tahar, menyatakan bahwa hingga tahun 2020 telah terdapat penurunan sampah plastik yang berakhir di laut sebesar 15,3%. Pemerintah menargetkan penurunan sampah plastik yang ke laut hingga 70% pada 2025.
Kebijakan mengenai penggunaan plastik ini mempengaruhi berbagai pihak, baik dampak yang menguntungkan maupun merugikan. Dampak yang menguntungkan dirasakan oleh beberapa pihak, terutama oleh biota laut kita. Kesehatan hewan laut meningkat sehingga akan meningkatkan kesehatan manusia yang mengonsumsinya juga. Dengan mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, semakin banyak perusahaan yang membuat benda inovasi yang mendukung gerakan hidup ramah lingkungan. Contohnya adalah penjualan tas belanja, sedotan stainless steel atau kaca, sikat gigi bambu, dan lainnya. Barang-barang ramah lingkungan tersebut memiliki peminat yang tinggi sehingga membuka peluang bisnis bagi perusahaan baru serta membuka lapangan pekerjaan baru bagi pekerjanya.
Benda-benda yang terbuat dari plastik, seperti sedotan dan kantuong plastik, sudah dilarang oleh pemerintah. Saat ini, kita harus membawa tas belanja sendiri ketika ingin membeli sesuatu karena toko swalayan sudah tidak memberikan kantong plastik secara cuma-cuma. Jika kita tidak membawa tas belanja, maka kita bisa membawa barang belanjaan tanpa tas belanja atau membeli tas belanja yang dijual oleh toko swalayan.Â
Pemberlakuan penggunaan tas belanja ini mengundang keluhan dari para konsumen karena mereka perlu mempersiapkan diri membawa tas belanja sebelum ke toko swalayan atau mereka akan membeli tas belanja yang dijual dengan harga tinggi. Hal ini menyebabkan terdapat kenaikan biaya yang dikeluarkan saat berbelanja. Selain itu, penurunan penggunaan kantong plastik menghambat dan menghentikan industri manufaktur plastik sehingga terjadi penutupan lapangan pekerjaan bagi para karyawannya.
Di sisi lain, sebuah studi di China menyatakan bahwa 71,8% konsumen akan memakai kantong plastik jika gratis tanpa mempertimbangkan barang yang mereka beli; 23,9% akan memakai kantong plastik dengan mempertimbangkan barang belanjaannya; dan 3,1% konsumen akan membawa tas belanja ketika mereka berbelanja. Survei ini membuktikan hanya sedikit konsumen yang bersedia membawa tas belanja sendiri meskipun kantong plastik diberikan secara gratis. Survei lainnya membuktikan bahwa 57% konsumen mendukung gerakan ini, tetapi mereka masih menganggap kantong plastik nyaman dan praktis digunakan; 3% dari konsumen tidak mendukung gerakan ini dan terus menggunakan kantong plastik; serta 7% konsumen menggunakan tas belanja ketika kantong plastik berharga mahal.Â
Konsumen yang membeli kantong plastik sebesar 33,3%, sedangkan yang membawa tas belanja sendiri sebesar 17,5%. Hasil survei membuktikan bahwa orang-orang masih belum bisa melepaskan kenyamanan yang diberi oleh kantong plastik. Kantong plastik secara tidak sadar telah menjadi bagian hidup kita yang penting. Kita sering menggunakan kantong plastik untuk berbagai kegunaan, seperti membungkus makanan, membawa barang yang basah, membungkus sesuatu, hingga membuang sampah.Â
Kantong plastik menawarkan kehigienisan, kebersihan, kenyamanan, dan kepraktisan. Penggunaan tas belanja yang berulang kali tanpa dicuci dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi penggunanya. Di beberapa provinsi Indonesia yang telah memberlakukan larangan penggunaan kantong plastik masih ditemukan penjual-penjual yang membungkus barang jualannya dengan kantong plastik, contohnya di pasar, penjual makanan, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedia pengganti atau alternatif dari kantong plastik dengan harga terjangkau. Penggunaan kantong plastik oleh penjual kecil membuktikan bahwa pemerintah belum mengawasi penerapan dari kebijakan tersebut di masyarakat secara maksimal.
Meskipun kebijakan larangan penggunaan kantong plastik ini memiliki dampak yang baik dan buruk, tetapi kebijakan ini merupakan langkah awal untuk memulihkan alam kita. Saat ini kita sedang berada pada masa peralihan ke era ramah lingkungan sehingga wajar saja ada beberapa pihak yang merasa dirugikan karena perubahan yang terjadi. Maka dari itu, masa peralihan ini perlu dihadapi dan disambut dengan baik oleh seluruh pihak agar tujuan awal dapat tercapai. Kebijakan larangan penggunaan kantong plastik bisa efektif, jika pemerintah mampu menyediakan barang alternatif sebagai pengganti kantong plastik mengingat kenyamanan yang diberikan kantong plastik bagi penggunanya dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah sebagai pengeksekusi kebijakan harus benar-benar mengawasi berjalannya kebijakan ini.Â
Selain itu, untuk mengatasi permasalahan kantong plastik oleh para pedagang, pemerintah harus memberikan alternatif kantong plastik yang memiliki kemampuan daur ulang baik, dapat diproduksi dengan mudah, dan harganya terjangkau. Pemerintah juga akan lebih baik jika menyediakan kantong plastik khusus sampah biodegradable dan tetap higienis untuk sampah rumah tangga. Tidak hanya penyediaan alternatif kantong plastik, tetapi juga lembaga dan infrastruktur pengelolaan sampah sangat diperlukan untuk mengelola sampah plastik yang ada saat ini dan pada masa mendatang.