Pendidikan kedokteran gigi sangat penting untuk kesehatan masyarakat, tetapi tingginya biaya pendidikan di Indonesia menjadi tantangan besar bagi calon mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu. Biaya kuliah bervariasi; di Universitas Gadjah Mada (UGM), Uang Kuliah Tunggal (UKT) berkisar antara Rp500.000 hingga Rp26.000.000 per semester, sementara di Universitas Indonesia (UI) mencapai Rp17.500.000 hingga Rp45.000.000 per semester, dan di Universitas Airlangga (UNAIR) antara Rp0 hingga Rp21.000.000.
Tingginya biaya ini tidak hanya mengurangi jumlah lulusan dokter gigi, tetapi juga memperburuk kekurangan dokter gigi spesialis, terutama di daerah terpencil. Penting untuk menganalisis masalah ini dan mencari solusi guna meningkatkan aksesibilitas pendidikan kedokteran gigi. Reformasi kebijakan dan struktur biaya yang lebih inklusif diperlukan agar lebih banyak calon mahasiswa dapat berkontribusi pada sistem kesehatan masyarakat.Pendidikan kedokteran gigi di Indonesia menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan tenaga medis, baik dokter gigi umum maupun spesialis.
      Di daerah perkotaan, meskipun jumlah dokter gigi lebih banyak, distribusinya tetap tidak merata. Misalnya, menurut data, di Jakarta, rasio dokter gigi mencapai 1,97 per 1.000 penduduk, sementara di daerah terpencil seperti Papua, kekurangan dokter gigi bisa mencapai 86,5% (Alzeressy Putri Irnadya Sinaga, 2022). Dokter gigi spesialis juga sangat terbatas. Sebagian besar berada di wilayah barat Indonesia, sedangkan daerah timur mengalami kekurangan yang signifikan. Ini menyebabkan antrean panjang bagi pasien yang memerlukan perawatan spesialis.
Kondisi ini menciptakan disparitas yang mencolok antara ketersediaan dokter gigi umum dan spesialis di berbagai daerah. Masyarakat di kota besar mungkin memiliki akses yang lebih baik, sementara mereka yang tinggal di daerah terpencil sering kali tidak mendapatkan layanan yang memadai. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kebijakan distribusi tenaga medis agar semua masyarakat, terutama di daerah terpencil, bisa mendapatkan layanan kesehatan gigi yang lebih baik.
II. Biaya Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia
Biaya pendidikan kedokteran gigi di Indonesia bervariasi antara universitas negeri dan swasta. Di universitas negeri seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI), biaya kuliah cenderung lebih terjangkau. UGM, misalnya, menerapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berkisar antara Rp500.000 hingga Rp26.000.000 per semester.
Selain biaya kuliah, mahasiswa juga harus mempertimbangkan biaya tambahan lainnya. Biaya untuk alat praktik dan bahan ajar dapat berkisar antara Rp3.500.000 hingga Rp50.000.000 per semester, tergantung pada program studi dan universitas yang dipilih. Dengan total biaya yang cukup besar ini, banyak calon mahasiswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu terpaksa mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikan di bidang kedokteran gigi.
Biaya pendidikan kedokteran gigi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Di Filipina, biaya kuliah berkisar antara $5.000 hingga $15.000 per tahun, sementara di Malaysia, biayanya sekitar RM50.000 hingga RM100.000 (sekitar Rp170 juta hingga Rp340 juta) untuk program penuh. Sebaliknya, universitas swasta di Indonesia seperti Universitas Bina Nusantara bisa mengenakan biaya hingga Rp350.000.000 untuk seluruh program.
Tingginya biaya ini menjadi kendala bagi banyak calon mahasiswa, terutama yang berasal dari latar belakang ekonomi kurang mampu. Akibatnya, beberapa yang memilih untuk belajar di luar negeri dengan beasiswa dari instansi luar negeri, yang dapat mengurangi jumlah tenaga medis di dalam negeri. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk mengevaluasi kembali struktur biaya agar lebih terjangkau dan aksesibel bagi semua calon mahasiswa.
III. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan
Faktor pertama yaitu kualitas infrastruktur di fakultas kedokteran gigi berpengaruh besar terhadap biaya pendidikan. Fasilitas modern dan laboratorium lengkap memerlukan investasi tinggi, yang sering kali diteruskan kepada mahasiswa dalam bentuk biaya kuliah yang lebih mahal. Namun, tidak semua institusi memberikan kualitas pendidikan yang sebanding dengan biaya tersebut, sehingga mahasiswa bisa terjebak dalam sistem yang membebani tanpa mendapatkan output yang sesuai.