Pandemi covid-19 yang terjadi sejak akhir tahun 2019 lalu memberikan kita semua dampak yang begitu besar di seluruh aspek, baik ekonomi, politik, sosial, Pendidikan, dan lain sebagainya. Wabah Covid-19 merupakan wabah menular melalui kontak fisik serta air liur. Dalam hal ini, penerapan program lockdown serta social distancing dilakukan oleh hamper seluruh negara di dunia. Tentunya hal ini mewujudkan berkurangnya intensitas kontak fisik dan meminimalisir kegiatan yang biasanya kita lakukan di luar rumah.Semua aspek dalam kehidupan terpengaruhi oleh situasi pandemic yang tidak memungkinkan bagi kita untuk produktif seperti sebelum adanya pandemi ini. Seluruh sector yang ada di dunia juga mengalami dampak dari adanya Covid-19.
Dilansir dari kompas.com, Wabah Covid-19 secara resmi masuk ke Indonesia pada awal Maret tahun 2020. Bermula dari 2 orang yang terinfeksi, rantai penularan penyakit ini menyebarluas hingga menambah kasus setiap harinya. Mulai saat itu, pihak pemerintah mulai mencari cara dan upaya agar kasus Covid-19 ini berhenti di Indonesia sehingga tidak memakan korban yang cukup banyak. Program dirumah saja serta menutup sementara akses dari daerah ke daerah lain dilakukan pemerintah demi memutus rantai penularan Covid-19. Aspek-aspek banyak dipengaruhi oleh Covid-19, tidak hanya dari kesehatan tapi demikian juga sector lainnya, seperti sektor ekonomi dan sektor politik.
Kondisi ekonomi politik di Indonesia pasca terjadinya pandemic covid-19 ini juga terdampak seiring dengan banyaknya perubahan-perubahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan kondisi masyarakat saat ini. Sebagaimana pengertian ekonomi politik menurut Mochtar Masoed, ekonomi politik adalah suatu studi yang mempelajari mengenai keterlibatan antara kajian ekonomi dan politik, antara negara dan pasar, antara lingkup lokal dan internasional, serta antara pemerintah dan masyarakat (Nenden Herawaty Sulaeman & Oelfa, 2021). Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah khususnya di era pandemic Covid-19 ini disesuaikan oleh situasi dimana terbatasnya gerak masyarakat dalam beraktivitas sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga mencakup bagaimana kesejahteraan masyarakat tetap dicapai dikala kondisi sulit seperti saat ini. Selain itu, untuk membenahkan kondisi politik dan ekonomi negara, diperlukan kebijakan yang cukup efektif untuk menangani hal tersebut.
Kebijakan pemerintah menurut Mc Rae dan Wild (Christian Victor Samuel Marzuki, 2021) merupakan sekumpulan tindakan yang dijalankan oleh pemerintah yang dapat mempengaruhi banyak orang secara signifikan. Hal ini berarti kebijakan pemerintah memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan masyarakat banyak yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Kebijakan pemerintah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya menyesuaikan kondisi suatu negara tersebut agar memperoleh hasil yang menguntungkan bagi seluruh rakyat. Maka dari itu, seringkali kita mendengar kata bahwa kebijakan pemerintah sifatnya elastis karena tidak stagnan melainkan harus beradaptasi dengan berbagai situasi di negara. Artinya, terdapat unsur wewenang serta otoritas di dalamnya, dimana pemerintah merupakan pihak berwenang yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan tersebut. Rakyat sebagai unsur yang mempengaruhi output dari kebijakan tersebut juga dapat mengawal apakah kebijakan tersebut benar-benar mempengaruhi kehidupan mereka secara baik atau hanya berpengaruh pada segelintir elit pemerintah yang memanfaatkan kebijakan tersebut demi kesejahteraan ekonominya masing-masing.
Dalam konteks pandemic Covid-19, tentunya kebijakan pemerintah juga mengikuti ritme masyarakat serta kondisi negara. Tak dapat terpungkiri, sektor perekonomian serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia menjadi salah satu yang terdampak paling besar saat pandemic sekarang sehingga tak jarang dari masyarakat untuk merasa kesusahan memenuhi kebutuhan pokoknya masing-masing. Maka dari itu, pemerintah selaku pemegang otoritas yang memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan untuk menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk menyalurkan bantuan sosial memiliki tujuan untuk menjaga masyarakat dari ketimpangan ekonomi serta sosial masyarakat dengan bentuk uang maupun barang yang tidak diberikan secara terus menerus, melainkan sebagai perlindungan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya resiko sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dari segala kesulitan yang ada di saat pandemic Covid-19 seperti ini.
Namun demikian, bantuan sosial yang diharapkan menjadi sebuah harapan bagi masyarakat Indonesia di tengah kesulitan kal ini justru banyak diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bantuan sosial menjadi bantalan empuk atau ladang korupsi bagi petinggi-petinggi negara. Penyaluran bantuan sosial menjadi tidak maksimal akibat salah sasaran.
Korupsi dalam konteks ekonomi politik, khususnya di dalam suatu kondisi darurat seperti era Covid-19 seperti ini memiliki keterkaitan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah pasti dikerjakan untuk menstimuluskan keadaahn ekonomi serta politik yang mendesak. Namun demikian, banyak pihak yang merespons kebijakan tersebut seperti kebijakan bantuan sosial menjadi peluang yang sempurna untuj melakukan tindak kejahatan korupsi. Tindak korupsi merupakan tindak yang merugikan banyak pihak yang dilakukan oleh seorang actor yang egois atas dasar private gain. Sepanjang tahun 2020, KPK telah menerima 118 laporan dari masyarakat mengenai penyaluran dana bantuan sosial dan Ombudsman RI juga banyak menerima laporam (kurang lebih ratusan) mengenai penyalahgunaan serta kendala yang dihadapi masyarakat untuk menerima bantuan sosial seperti identitas yang tidak tercantum, kurang sosialisasi, dan sebagainya (Launa & Lusianawati, 2021).
Maka dari itu, kita dapat melihat pada salah satu kasus korupsi terpanas di sepanjang pandemic covid-19 di tahun 2020 khususnya di masa PSBB ialah korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh eks- Menteri Sosial Juliari Batubara. Hal yang dilakukan oleh Menteri Juliari membentuk tim khusus yang terdiri dari Papen Nazarudin, Dirjen Perlindungan Jamsostek, dan dua pejabat berkomitmen, yakni Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Selanjutnya, Juliari menugaskan tim khusus untuk menunjuk langsung penawar yang berhasil dan menentukan isi paket bansos, kemudian meminta penawar untuk menyerahkan biaya paket sembako minimal 10% kepada Juliari dan setelahnya biaya tersebut dikumpulkan dalam koper di tempat yang berbeda dan dikelola oleh staf Juliari dan dua sekretaris. Diduga, uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Menteri Juliari dan partainya, yakni sewa jet pribadi, sewa hotel, kamar, makanan, dan digunakan untuk memenangkan calon kepala daerah dari PDIP. Tentunya hal ini bertentangan dengan UU No. 11 tahun 2009 mengenai kesejahteraan masyarakat yang mana berbunyi Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Hal itu menjadikan pemerintah sebagai pihak bertanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan masyarakat seperti yang disebutkan dalam UU tersebut.
Selain kasus di tingkat nasional, kasus korupsi serta pengadaan bantuan sosial juga terjadi di daerah dengan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Seperti yang dijelaskan oleh Christian, dkk (2021), terdapat kasus pemalsuan anggaran dana bantuan sosal Covid-19 yang dilakukan oleh Kepala Biro Kesejahteraan Sosial Pemprov Lampung. Ia juga memiliki orang ketiga yang mengakomodir barang persediaan setelah anggaran dana tersebut di mark-up. Selain itu, kasus bantuan sosial di Jawa Barat yang melibatkan aktor-aktor yang bekerja di kewilayahan dengan memberikan bantuan sosial yang memiliki kualitas buruk untuk memperkecil pengeluaran dana bantuan sosial. Lebih lanjut, adanya korupsi Kepala Dusun Kabupaten Musirawas, Sumsel, yang memotong bantuan tunai yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang berhak mendapatkannya di kala pandemic Covid-19.
Selain itu, di masa PPKM yang berlaku di sekitar bulan Juli- Agustus 2021 akibat adanya kenaikan angka kasus covid-19 juga banyak terjadi penyelewengan bantuan sosial. Dilansir dari Kompas, bantuan sosial yang terdapat adalah Kartu Sembako, pemerintah meningkatkan manfaat kartu sembako sebesar 200.000 rupiah untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dalam waktu dua bulan; BST, diperpanjang penyalurannya selama dua bulan yaitu 10 juta KPM dari Mei hingga Juni; bantuan kuota internet untuk pelajar dan pendidik yang dilanjutkan sampai akhis tahun 2021; Minimum biaya beban/langganan tiga bulan (Oktober s/d Desember) untuk potongan listrik dan bantuan rekening; Pekerja yang terdaftar pada Kartu Prakerja BPJS Ketenagakerjaan dan bantuan subsidi upah;) bantuan beras;) BLT untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); Bantuan sewa toko (Wahyuni, 2021). Dalam penyaluran berbagai macam bantuan sosial ini, ada satu kasus tersorot mengenai dugaan pemotongan dana BST oleh oknum yang ada di Kelurahan Beji, Depok. Laporan tersebut mengatakan bahwa adanya pemotongan dana sebesar Rp50.000 dari jumlah asalnya yang lebih dari ratusan ribu.
Dari banyaknya permasalahan dugaan korupsi di masa pandemic seperti saat ini, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah terkait bantuan sosial merupakan kebijakan yang riskan akan adanya “proyek” di dalamnya serta rentan akan tumpang tindih dari penyalur dan penerima. Permasalahan korupsi di Indonesia di era Covid-19 ini berakar dari unit terkecil masyarakat, di tingkat kelurahan, kota, hingga nasional. Hal ini berarti kebiasaan korupsi di Indonesia sudah berakar sangat dalam, ditambah adanya kebijakan yang di dalamnya mengandung penggunaan APBN maupun APBD menjadi permainan elit politik bahkan ditengah kesulitan saat ini. Hal ini relevan dengan studi yang dikaji oleh Halim dan Dwiranda (2020) yang menyebutkan bahwa regulasi pemerintah yang melibatkan APBD dalam pengimplementasiannya mengandung banyak peluang untuk disalahgunakan oleh para elit politik dalam hal korupsi politik yang berjalan secara sistematis dengan tujuan pengakumulasian kapital ataupun bagi peningkatan elektabilitas mereka. Ketidakefektifan penyaluran bantuan sosial bukan hanya diakibatkan oleh kemerosotan moral akan kekuasaan, melainkan perilaku para elit yang koruptif (Launa & Lusianawati, 2021). Korupsi serta penyalahgunaan bantuan sosial lainnya tentunya tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, melainkan merugikan negara dari sisi politik yakni berkurangnya legitimasi yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah akibat kinerja buruk nan koruptif.