Sering kali, perhatian kita terhadap kesehatan hanya terfokus pada angka di timbangan. Namun, ada aspek yang lebih mendalam dan serius yang mungkin terlewatkan, yaitu sindrom metabolik. Sindrom ini mencakup sekelompok kondisi medis seperti obesitas abdominal, tekanan darah tinggi, kadar gula darah yang tinggi, dan dislipidemia (ketidaknormalan kadar kolesterol dan trigliserida). Lebih dari sekadar berat badan, sindrom metabolik adalah kombinasi kompleks faktor risiko yang secara signifikan meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes tipe 2 (Levesque & Lamarche, 2008).
Prevalensi sindrom metabolik (SM) di dunia antara 20-25%, sedangkan di Indonesia 21.66% pada tahun 2019, dimana tiga komponen sindrom metabolik yang paling umum adalah kolesterol HDL rendah, diikuti oleh hipertensi, dan obesitas sentral (Herningtyas, E.H & Ng, T.S., 2019).
Apa Penyebab Sindroma Metabolik?
Penyebab utama sindrom metabolik sangat beragam, beberapa penyebab yang mungkin termasuk faktor genetik dan berbagai faktor lingkungan atau gaya hidup, seperti obesitas, kurang berolahraga, dan pola makan yang tidak sehat. Inti dari sindrom ini adalah penumpukan lemak, terutama di perut, yang menyebabkan tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin (Swarup, S., Ahmed, I., et al, 2024).
Kenapa Sindrom Metabolik Penting?
Sindrom metabolik penting karena merupakan prediktor utama untuk perkembangan penyakit jantung koroner dan diabetes tipe 2 (Alshehri, 2010; Grundy, 2016; Levesque & Lamarche, 2008). Masyarakat yang menderita sindrom metabolik memiliki dua kali lipat risiko untuk mengalami serangan jantung dan lima kali lipat risiko untuk mengembangkan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki sindroma ini (Alberti et al., 2009). Menurut National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III, seseorang dapat didiagnosis menderita sindrom metabolik jika memiliki tiga atau lebih dari komponen berikut:
- Lingkar pinggang > 102 cm pada pria atau > 88 cm pada wanita
- Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg
- Kolesterol HDL < 40 mg/dL pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita
- Trigliserida ≥ 150 mg/dL
- Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL
Bukan Sekedar Lemak Biasa
Dalam konteks obesitas dan masalah yang berkaitan dengannya, ada perbedaan besar antara jenis lemak yang berbeda di dalam tubuh yaitu lemak viseral dan lemak subkutan. Secara umum, lemak viseral yang terletak di sekitar organ dalam perut dianggap lebih berisiko menyebabkan gangguan metabolisme seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, resistensi insulin, atau diabetes tipe 2 dibandingkan dengan lemak subkutan yang ada tepat di bawah kulit (Dam V., Sikder T., et al, 2016).
Obesitas abdominal, atau penumpukan lemak di sekitar perut, lebih berbahaya dibandingkan lemak di bagian tubuh lainnya karena lebih aktif secara metabolik. Lemak ini melepaskan asam lemak bebas ke dalam aliran darah yang menuju ke hati, mengganggu fungsi insulin dan menyebabkan resistensi insulin. Selain itu, lemak perut dapat memicu peradangan kronis dengan melepaskan zat-zat kimia yang menyebabkan peradangan, yang akhirnya mengganggu kerja insulin di dalam tubuh (Alberti, K.G., Eckel, R.H., et al, 2009).
Ketidakseimbangan hormon yang dihasilkan oleh jaringan lemak viseral, seperti berkurangnya hormon adiponektin dan meningkatnya hormon resistin, sehingga menurunkan sensitivitas insulin dalam tubuh. Selain itu, obesitas abdominal seringkali dikaitkan dengan masalah kadar lemak dalam darah yang tidak normal, seperti tingginya kadar trigliserida dan rendahnya kadar kolesterol baik (HDL). Kondisi ini meningkatkan risiko penyakit jantung karena lemak-lemak ini lebih mudah menumpuk di dinding pembuluh darah (Grundy, S.M., 2016).
Lemak perut juga berkontribusi pada tekanan darah tinggi melalui berbagai cara, seperti meningkatkan volume darah dan kekakuan pembuluh darah, serta mengaktifkan sistem hormon tertentu yang mengatur tekanan darah. Tekanan darah tinggi adalah salah satu faktor utama penyebab penyakit jantung. Lemak perut yang berlebih juga memicu peradangan dan stres oksidatif, yang dapat merusak lapisan dalam pembuluh darah, menyebabkan penumpukan plak, dan meningkatkan risiko serangan jantung (Alberti, K.G., Eckel, R.H., et al, 2009).
Meskipun berbagai badan internasional telah mengakui obesitas abdominal sebagai komponen sindrom metabolik, Namun, penting untuk dicatat bahwa sindrom metabolik tidak hanya dialami oleh mereka yang memiliki obesitas abdominal. Individu yang kurus dan ramping dengan lingkar pinggang normal juga dapat mengalami gangguan metabolik (Sanyal, D., 2018).