Akhir-akhir ini ramai di layar periklanan tanah air iklan terbaru kartu GSM 3. Iklan ini diputar cukup intens di berbagai stasiun televisi kita. Terdapat dua versi iklan 3 yang bertaglinekan ‘kebebasan’ itu. Versi pertama dari seorang laki-laki dan yang kedua yakni versi perempuannya.
Yang menarik dari iklan ini yakni pengemasan kalimatnya. Iklan tersebut menggambarkan pada pemirsa tentang kebebasan masa kini yang terbelenggu. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut, “Kebebasan itu ilusi. Katanya urusan jodoh sepenuhnya ada di tanganku, asalkan sesuku, kalau bisa kaya, pendidikan tinggi, dari keluarga baik-baik. Kebebasan itu aneh. Katanya aku bebas berekspresi, tapi selama rok, masih di bawah lutut. Kebebasan itu palsu. Katanya hidup ini singkat, mumpung masih muda nikmati sepuasnya. Asal, jangan lewat dari jam 10 malam.” Kesemua kalimat ini ada di versi perempuan iklan 3. Jika kita kritisi lebih dalam, terdapat kejanggalan dalam makna kalimat tersebut. Pertama, kebebasan yang dianggap ilusi, aneh, dan palsu oleh aktris iklan nampak menyuarakan keinginan untuk ia bebas tanpa aturan. Hal ini sangat berbahaya. Apabila kebebasan versi ini dikampanyekan ke pemuda dan masyarakat Indonesia secara luas, maka akan mendestruksi pola pikir masyarakat. Masyarakat akan berpikir bahwa adanya aturan hanyalah berupa belenggu bagi manusia. Dari pemikiran ini akan lahir masyarakat yang antipati teradap aturan. Segala jenis aturan akan ditabraknya lantaran berpegang asas kebebasan tanpa batas ini. Mari sedikit kita cermati bahasa kata dalam iklan. Tokoh iklan nampak jelas menggugat adanya tata aturan yang hidup di masyarakat kita. Ia merasa jengah dengan belenggu kebebasan ekspresi yang menghalanginya memakai rok di atas lutut. Ia juga tidak menghendaki adanya pembatasan jam malam bagi wanita. Beginikah persepsi kebebasan masa kini? Jika ditelisik lebih dalam, aturan ada untuk memberikan kebaikan bersama. Bayangkan jika tidak ada norma di masyarakat kita. Wanita dengan seenaknya memakai rok di atas lutut tanpa merasa risih. Padahal, sedikit banyak hal itu turut memicu tindak kriminalitas dan pelecehan seksual terhadap wanita. Bayangkan pula jika tak ada batasan jam malam bagi wanita. Wanita yang berkeliaran malam-malam, terlebih seorang diri rawan menjadi sasaran tindak kejahatan. Apakah keinginan untuk menghindarkan kita dari kejahatan tersebut layak disebut belenggu kebebasan? Kedua, keterkaitan dengan produk. Menurut hemat saya, iklan 3 ini terutama dari pengemasan bahasanya, tidak memiliki keterkaitan signifikan dengan produk/fitur yang ditawarkan. Pihak 3 menawarkan paket Always On (AON) yang merupakan terobosan terbaru dari Tri dengan tawaran keleluasaan kepada pengguna kartu Tri untuk bisa menikmati internet selama 24 jam non stop. Mungkin, aspek 24 jam non stop ini yang ingin dimaksudkan dan dikaitkan dengan bahasa iklan tentang ‘kebebasan’. Tetapi, kebebasan yang disuarakan melalui tokoh dalam iklan; tentang bebas memilih jodoh, memakai rok mini, dan bebas dari batas jam malam agaknya tidak sinkron dengan bebas akses yang dimaksud dalam produk. Salah Persepsi Kebebasan Kebebasan memang menjadi hal yang sering digaungkan pada masa sekarang ini. Masyarakat kini patut bersyukur dengan dimilikinya kebebasan dalam banyak hal. Sebagai contoh, kebebasan beragama, mengungkapkan pendapat, berkumpul dan berserikat, dan masih banyak lagi. Adanya kebebasan sepatutnya menjadi peluang bagi kita untuk lebih mengembangkan potensi dan menebarkan kebermanfaatan di berbagai aspek kehidupan. Bukan malah sebaliknya, kebebasan menjadi tameng untuk melegalkan hal-hal buruk kita. Kebebasan malah menjadi dasar untuk memutarbalikkan fakta atau memelintir pemikiran masyarakat kita. Kebebasan macam ini adalah bentuk kebebasan yang lemah dan tidak bertanggung jawab. Kembali pada iklan yang telah mengudara ini. kebabsan tanpa batas yang dibunyikan iklan 3 ini patut menjadi refleksi kita bersama. Kita wajib untuk mengkritisi hal-hal yang beredar di sekitar kita. Iklan semacam itu pantas untuk dikritisi. Layakkah untuk menyuntikkan kebebasan yang demikian ke tengah masyarakat? Jangan sampai kita terjebak hingga menyeret kita pada kesalahan berpikir dalam mempersepsi kebebasan itu. Masyarakat cerdas tidak akan menelan mentah pemaknaan kebebasan yang ambigu tersebut. Semoga bermanfaat.. http://internet.tri.co.id/resource/hcpt/images/Banner%201%20Aneh.JPG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H