Mohon tunggu...
Aditiyo Aditiyo
Aditiyo Aditiyo Mohon Tunggu... -

Konsultan untuk Hidup dan Karir Anda

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bangun Karir Anda Dengan Hati

23 November 2015   11:10 Diperbarui: 23 November 2015   11:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda mendengar bahwa di dunia ini hanya 13% dari karyawan profesional yang benar-benar melibatkan diri mereka dalam pekerjaan mereka. Melibatkan diri dalam hal ini di definisikan memiliki keterlibatan emosi, berkomitmen dan berkontribusi terhadap perusahaan dimana mereka bekerja.

Terus, sisanya yang 87% kemana? Apa yang mereka lakukan di kantor sehari-hari?

Angka keterlibatan tersebut mengejutkan, tapi angka itu benar adanya. Angka tersebut didapatkan dari laporan hasil survei tahun 2013 yang dilakukan oleh Gallup, Inc. Sebuah perusahaan amerika yang bergerak dibidang riset dan konsultan manajemen. Mereka terkenal dengan survei-survei yang dilakukan, baik di Amerika maupun melibatkan negara lainnya di dunia.

Kalau kita melihat Amerika sendiri, data terakhir yang dikeluarkan Gallup di bulan Februari 2015, persentase keterlibatan karyawan profesional hanya di angka 32.9%. Apa artinya ini? Negara sekelas Amerika yang dipersepsikan sangat profesional, tapi keterlibatan karyawannya bahkan secara relatif tidak signifikan. Hasil survei Gallup tersebut diperkuat oleh perusahaan konsultan bernama Deloitte, mereka mengeluarkan survei yang kurang lebih menginformasikan hal yang sama dengan nama Deloitte’s Shift Index. Dari versi Deloitte 80% karyawan tidak puas dengan pekerjaan mereka.

WOW…

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Data terkini yang dimiliki bersumber dari survei Gallup tahun 2013 tersebut, menyebutkan Indonesia hanya memiliki 8% karyawan profesional yang memiliki keterlibatan aktif dengan perusahaan dimana mereka bekerja.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Joe Apfelbaum, CEO dan co-founder dari digital marketing agency Ajax Union, aktif sebagai pembicara publik, certified Google Trainer dan penulis buku bisnis, berpendapat bahwa fenomena ini disebabkan karena beberapa faktor. Tidak memiliki tujuan sehingga mengarah pada kehidupan yang reaktif dan berkumpul dengan orang-orang yang salah, dalam definisi memiliki sifat yang negatif adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tidak puas dengan pekerjaannya.

Dan berkaitan dengan tidak memiliki tujuan, Marc Bodnick dari perusahaan konsultan Quora memiliki suatu teori yang menarik. Menurutnya banyak orang yang memilih karirnya sesaat setelah mereka lulus kuliah. Di saat itu, dengan pengetahuan mengenai pilihan karir yang terbatas, kondisi yang “mendesak” mereka segera mendapatkan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan, pada akhirnya pekerjaan pertama mereka seperti dipaksakan. Seperti halnya mengikuti jenjang pendidikan yang sudah jelas, dari SD ya lanjut ke SMP, lalu ke SMA dan seterusnya.

Lulusan tidak diberikan kesempatan dan tidak dididik untuk menyediakan kesempatan untuk berpikir mengenai tujuan hidupnya apalagi untuk berencana untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dilakukan.

Ok, ada baiknya kita berpikir lebih dekat dulu, bagaimana dengan Indonesia, apa yang dapat dilakukan bagi sumber daya manusia kita agar memiliki karir yang lebih terencana, memiliki tujuan. Apabila kita dapat mengatasi ini, sumber daya manusia kita akan lebih berkembang. Dengan sumber daya yang berkembang, kontribusi terhadap hasil tentunya akan lebih besar. Kontribusi yang besar akan mengarah pada pembangunan negara kita jauh lebih cepat dan berkelanjutan dibanding negara lain.

Bagaimana keadaan lulusan kita saat ini?

Meskipun tidak ada statistik terperinci tetapi sudah ada isu yang menjadi perhatian dari pelaku dunia pendidikan, seperti yang diutarakan oleh Muslikh SH selaku Direktur Pembinaan Kursus & Pelatihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kata beliau pada hari Pendidikan Nasional yang lalu “Di tingkat pendidikan tinggi sering terdapat ketidakselarasan antara jurusan yang diambil dan bidang kerja”.

Ditambah dengan pernyataan Prof Dr Ir H Yudi Julius MBA, Rektor Universitas Persada Indonesia YAI, “Dunia pendidikan kita masih disibukkan bongkar pasang kurikulum. Ironisnya, bongkar pasang kurikulum ini masih memiliki paradigma yang sama, yaitu menjadikan mata kuliah sebagai tujuan, belum sebagai alat kecakapan hidup. Hal ini menyebabkan lulusan pendidikan kita cenderung gagap dan kurang mampu bersaing”.

Perencanaan karir menjadi sesuatu yang wajib untuk dilakukan, tidak hanya bagi pengembangan sumber daya manusianya, tapi juga untuk kepentingan kontribusi bagi perusahaan ataupun negara secara maksimal.

Tanggung jawab siapakan ini?

Saat ini memang sudah ada bagian bimbingan karir baik di SMA maupun universitas, tapi pertanyaannya apakah bagian tersebut sudah bekerja dengan maksimal? Secara formal, tentunya harus dimulai dengan peraturan dari kementerian bersangkutan untuk menempatkan perencanaan karir ini sebagai kewajiban.

Merubah paradigma karir untuk mendapat penghasilan menjadi karir untuk passion

Jaman dulu profesi tidak terlalu banyak, kalau ada seorang ibu yang bertanya pada anaknya hampir dipastikan seperti ini “anakku, kalau sudah besar mau jadi apa?”, “dokter, insinyur atau polisi?”

Dulu belum ada namanya digital marketer, twit buzzer, e-commerce specialist atau profesi lainnya yang dulu bahkan dipikirkan saja tidak pernah. Dunia sudah banyak berubah, pemaksaan jodoh seperti cerita Siti Nurbaya sudah hampir tidak pernah terjadi. Begitu pula seharusnya pada pendekatan perencanaan karir. Sebisa mungkin janganlah ada individu yang menjalani karirnya karena “warisan” dari orang lain.

Seperti marketing yang berubah paradigma, dulu fokus pada produk, saat ini fokus pada needs yang bisa sangat berbeda-beda untuk setiap individu. Demikian juga seharusnya pada karir. Karir pilihan seseorang harus berdasarkan pada needs dia untuk pemenuhan passion-nya.

“People say you have to have a lot of passion for what you’re doing and it’s totally true and the reason is, it’s because it’s so hard that if you don’t any rational person will give up”, itulah yang dikatakan Steve Jobs mengenai passion.

Bagaimana seharusnya merencanakan karir? Dimulai dari penelurusan minat dan tujuan pribadi, karena Anda yang akan menjalani hidup dan karir Anda, sudah sepantasnya Andalah yang memutuskan kearah mana Anda akan melangkah. Tidak ada satupun karir yang terbaik bagi semua orang, karena setiap orang memiliki kepribadian, kesenangan dan gairahnya masing-masing.

Sangat penting di tahap awal untuk mengetahui apa yang Anda mau, bukan yang orang kehendaki untuk Anda. Masukkan dari orang lain penting sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan bukan sebagai keputusan itu sendiri.

Menemukan passion bukanlah pekerjaan semalam, kalau Anda bisa melakukan dalam waktu semalam, itu adalah keistimewaan bagi Anda. Satu-satunya cara untuk mencari dan mengetahui apakah yang Anda bayangkan merupakan passion Anda adalah dengan melakukannya. Banyak orang yang menyerah karena telah mencoba dan merasa tidak cocok dan mendarat pada kesimpulan bahwa dia telah melakukan kesalahan dalam melangkah. Mencoba itu tidak salah, justru Anda akan menemukan kebenaran mengenai aktivitas tersebut.

Bertanya pada banyak orang dengan latar belakang berbeda. Jangan selalu bertanya pada karyawan profesional seperti halnya jangan selalu bertanya pada entrepreneur. Dapatkan sudut pandang dari keduanya. Tentunya keduanya akan berbicara hal – hal baik dari masing-masing dunianya, lihatlah secara obyektif, bukan yang terbaik untuk mereka, tapi yang terbaik, yang paling cocok sesuai dengan kepribadian Anda.

Selalu mendengarkan pendapat orang dan terus mempertimbangkannya tentunya tidak akan membawa hasil bagi Anda. Tentukan apa yang Anda inginkan, sekali lagi jangan takut salah, dan tentukan apa langkah pendukung bagi Anda untuk mencapai tujuan tersebut, kemudian lakukan. Penyesuaian dapat dilakukan sepanjang perjalanan Anda selanjutnya.

Mulailah dengan tujuan akhir, tujuan Anda, kemudian bangunlah jalan mengarah pada tujuan tersebut. Tujuan membuat Anda memiliki arti, dengan memiliki arti Anda akan berusaha sekuat mungkin untuk berkontribusi. Dengan berkontribusi tentunya akan membawa hasil, bagi Anda sendiri maupun pihak lain yang bekerja dengan Anda.

 

 

http://www.careerguideindonesia.com/2015/10/bangun-karir-anda-dengan-hati/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun