Siang setelah hujan lebat mengguyur pinggiran ibukota, ramai sudah lalulalang motor mobil mengejar impiannya. Begitu pula adanya dengan Gie dan Ririn yang tampaknya sedang asyik duduk berduaan di pojokan Pos Ronda menikmati sisa-sisa air hujan yang masih setia menetes dari atas atap rumbia.
Lihatlah. Tak banyak kata yang terucap, tak tampak gelinjang tubuh yang bergerak-gerak tanpa arti, hanya ada tarian jari jemari, hanya ada bola mata yang berputar berbinar, yang tersisa hanya desahan tirai bambu yang tertiup angin barat serta suara degup jantung Gie dan Ririn yang bertalu-talu bagai pacuan pembuluh darah striker di gol ketiga dalam gawang lawan yang hancur terkoyak.
Tak lama kemudian, seorang gadis pelayan muda membawa pesanan mereka.
"Silahkan, kak..... Dan dua tatakan tapas ini bonus dari kami"
Gie hanya tersenyum sambil melirik tatakan itu. Hmmm..... kali ini calamares level 3, boleh laaah....
Sementara Ririn kini terus saja menganyam bibirnya membentuk oval yang seksi atas gangguan kecil dari si pelayan. Lagi asyik-asyik malah bikin hilang selera nih, begitu mungkin yang ada di dalam benak Ririn.. Padahal sebelumnya Ririn sudah bilang, bikin ramen dan minumnya yang lama ya mbaaak....
"Terima kasih....."
"Iya, kakak. Selamat menikmati"
Pelayan meninggalkan suara ketus Ririn yang lenyap tersapu aroma Ramen ala Cafe Pos Ronda.
Sambil menyantap ramen dan setegukan mojito, Gie menatap mata Ririn yang tak berhenti bersinar.
"Kau terima cintaku karena apa, Gie?"
"Kamu penuh pengertian. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Dan kau pun mau dipacarin sama orang kayak aku begini"
Begitulah, Ririn akhirnya bisa menikmati sensasi ramen yang menari di lidahnya, dahsyatnya calamares dan juga atraksi seksi dari kedipan-kedipan bulu mata lentik di hadapannya. Gie punya bulu mata lentik lagi lebat hitam berkilat.
"Aku tak kaya. Keturunan rakyat biasa. Wajahku seadanya. Badan pun hanya pas-pasan semata. Hanya punya petakan satu pintu pemberian orangtua. Bison itupun masih harus menyicil belasan bulan lamanya. Kerjaku hanya kurir paruh waktu. Tapi nyatanya kau terima aku dengan sepenuh jiwa, Rin"
"Itu karena kau telah berjanji, Gie. Merawatku hingga aku tak lagi bisa membedakan biru dari merah, tak lagi mampu memasukkan sehelai benang ke lubang jarumnya, tak lagi punya kuasa untuk menggali lipatan-lipatan rapuh di otakku untuk hanya sekadar mengingat nama-nama bintang yang berjajar di langit sana"
Ririn nyatanya begitu mengerti keadaan Gie. Ririn tahu betul akan kondisi Gie, rahasia besar Gie.
"Hmmm...... kamu mau sama aku bukan karenaaa......"
"Apa?! Apa, Gie?! Jangan ngaco lagi ya...."
"Pasti karena celanaku ukuran XXL kaaan??"
Pelayan yang sedang berdiri di balik bar di ujung sana hanya tersenyum. Dua paket ramen telah ia siapkan untuk dibawa pulang oleh pelanggan setianya, Gie.
Tak lama kemudian.
"Waduh... dompetku ketinggalan di rumah. Kamu yang bayar ya, Rin. Tar diganti deh...."
Ririn tak kaget dengan kebiasan Gie, Ramen pun cuma mesam mesem kecut bak rasa buah belimbing wuluh.
"Makasih, Ramen.... kami pulang dulu yaaa......"
Ramen, si pelayan hanya tersenyum sambil merapikan meja.
Tak lama setelah Gie pergi, datang seorang pria masuk ke Cafe Pos Ronda.
Ramen tersenyum kecil kepada pelanggan yang satu ini. Mahisa, si miskin kata-kata. Pesanannya pun unik, dua kepal nasi bakar dan secangkir kopi low sugar bertabur setengah sendok kecil garam.
Dan pada akhirnya petang pun menjelang jua, hujan pun sudah benar-benar menghilang. Aroma nasi bakar dari dapur cafe menyudahi petang yang perlahan memudar disapu bibir malam. Nasi bakar pesanan Mahisa yang terhidang di meja pun menyudahi the story of Gie untuk hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H