Mohon tunggu...
Pengky Pambudi
Pengky Pambudi Mohon Tunggu... -

Penyuka fotografi tapi tidak mahir memotret. Penikmat Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bang Jo di Bangjo

7 Mei 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia sering dipanggil Jojo, orang yang lebih muda memanggilnya Bang Jo. Seorang seniman jalanan atau lebih tepatnya penari jalanan. Pengkais rupiah dengan menjual kemaluannya tapi masih berlabel halal. Dalam hatinya mungkin berucap “lebih baik jadi penari yang masih punya harga diri, daripada menjual harga diri demi korupsi”. Suatu siang, seperti biasanya dia menunggu traffic light menyala merah. Itu berarti semua kendaraan harus berhenti dan memberikan stage untuk Bang Jo. Di atas zebra-cross dia mulai bekerja dengan tarian seadanya, kurang begitu jelas , mungkin kolaborasi gambyong dan remong. Dandanannya pun seadanya, setidaknya orang yang melihat mampu memvonisnya sebagai seorang penari. Lima belas detik hampir berlalu. Dia mulai menyodorkan senyum dan gelas plastik bekas air mineral kepada para 'penonton' yang sebagian mungkin risi dengan pertunjukannya itu. Seratus, dua ratus, lima ratus perak dia kumpulkan. Juga gesture tangan pengendara yang menolak memberikan recehannya sudah menjadi “cemilan” tiap hari. “10.600 rupiah..masih kurang” Dia mulai menghitung uang yang didapat. Di temani suara klakson kendaraan yang bersliweran disampingnya dan asap tebal bus kota. Uang itu benar-benar masih kurang. Obat untuk sakit istrinya saja sekitar sepuluh ribu. Belum lagi untuk pengganjal perutnya yang sedari pagi kosong. Ah..itu belum seberapa. Bungkusan nasi dan lauk yang dipesan istrinya pun belum masuk hitungan. “Merah” Dia bergegas menuju “panggung”nya. Braaaak..!!! Sebuah mobil mewah kencang yang ogah mengantri untuk hijau berikutnya menghempaskan tubuh Bang Jo beberapa meter dari “panggung pertunjukan”nya. Seketika tak bernyawa. Hanya cairan merah yang mampu menerjemahkan kondisi Bang Jo. [caption id="attachment_135608" align="alignnone" width="208" caption="http://fotokita.net/microsite/sonycontest09/ctg_umum/7951_ctg_umum_280.jpg"][/caption] *Cerita ini hanya fiktif belaka,maaf apabila ada kesamaan...blablabla **Terinspirasi penari jalanan di perempatan concat Q, 07 Mei 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun