Seumpama kata-kata yang terekam dikepalaku bisa menggambarkan kecantikanmu,
mungkin sore ini sudah kuratakan bumi tempatku berpijak dengan hamparan kata-kata
Semisal kata-kata ini dalam sekejap bisa menjadi amsal-amsal yang hanya sekedar dituliskan semata,
mungkin tak perlu aku bercapek-capek menyebut-nyebut namamu dihatiku
Tidakkah engkau ingat bahwa hati yang pernah kau iris-iris dengan sayatan bilah-bilah sembilu dengan ujung jari lentikmu telah mengilalangkan beribu-ribu harap yang berbalut cemas,
mungkin engkau memang telah lupa bahwa sampai sejauh ini aku masih ada
Sore ini semakin redup, sedangkan pada batas khayalku yang kubiarkan liar seliar-liarnya sebuah hayalan semakin membumbungkanku pada ketidakpercayaan akan hak-hak manusiawiku,
mungkin karena kebenaran yang pernah kau ucapkan tentang hati keperempuananmu
Pernah aku bertanya dalam sunyi tentang kesejatian hidup tapi engkau menghilang dalam senyapnya kata-kata padahal ketika itu aku sangat berharap ada sebuah jawaban yang pasti,
mungkin dengan diammu engkau mengisyaratkan sebuah jawaban bahwa perempuan sejati itu adalah diamnya, senyapnya
Ketika kutuliskan hal tentangmu disini irama hatiku berbanding lurus dengan hari yang semakin berada diredupnya ufuk senja tapi apa pedulimu?
mungkin aku lebih baik diam dan berusaha untuk tak mengingat-ingat lagi jejak yang pernah kau torehkan dihati yang telah membatu ini
: ..................................
CapingItem2020, 04 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H