Mohon tunggu...
Capah Veronika Ester
Capah Veronika Ester Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Saya mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Pembagian Hak Asuh Anak dalam Perceraian Orang tua Beda Agama dalam Sistem Peradilan Agama"

30 September 2023   13:58 Diperbarui: 30 September 2023   14:50 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya untuk membahas lebih dalam terkait pembagian hak asuh dalam perceraian orang tua yang beda di Pengadilan Agama. Yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, pasangan yang berperkara di pengadilan agama hanya pasangan yang beragama Islam. Sedangkan pasangan yang beragama non-muslim dapat menyelesaikan perkara perkawinannya di Pengadilan Negeri.

Lalu akan menimbulkan pertanyaan, mengapa ada pasangan beda agama yang menyelesaikan perkara perceraiannya di Pengadilan Agama? Jawabannya adalah ya, hal itu bisa terjadi karena diawal mereka melakukan pernikahan yang sah dan seagama. Namun setelah menikah salah satu pasangan murtad. Pasangan suami istri tersebut kemudian melakukan perceraian tetapi bukan atas murtadnya salah satu pasangan melainkan karena hal lain. Maka pasangan beda agama dapat menyelesaikan perkara perceraian mereka di pengadilan agama, sebagaimana mereka tercatat saat menikah sebagai agama Islam yang tercatat di Kantor Urusan Agama. Hal ini termasuk dalam ketentuan Asas Personalitas Keislaman.

Asas Personalitas Keislaman, artinya pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama "antara orang-orang yang beragama Islam" salah satunya di bidang perkawinan. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam, mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama. Maka dengan demikian, sengketa yang terjadi dikemudian hari merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama.

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri. Dalam perceraian, pasangan suami istri memutuskan untuk berpisah dan tidak lagi hidup bersama. Proses perceraian dapat melibatkan pengadilan dan memerlukan keputusan hakim untuk memutuskan pembagian harta bersama, hak asuh anak, dan hal-hal lain yang terkait dengan pernikahan yang akan diakhiri.

Perceraian bukanlah sebuah kegagalan, melainkan sebuah solusi. Perceraian dapat menjadi jalan keluar bagi pasangan yang sudah tidak lagi merasa nyaman untuk bersama. Namun dibalik perceraian juga memberikan dampak yang besar terhadap anak-anak, yang menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Tetapi, setelah pasangan suami istri sah secara hukum dan agama telah bercerai, mereka sebagai orang tua tetap wajib untuk memelihara dan mendidik anak mereka, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, peran pengadilan agama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak pasca perceraian sangatlah penting, salah satunya dengan menentukan kepada siapa hak asuh anak ini diberikan, apakah kepada ibu atau ayahnya.

Pada pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa anak yang belum berumur 12 tahun atau mumayyiz, maka hak asuh diberikan kepada ibunya, sedangkan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ibu atau ayahnya yang menjadi pemegang hak asuh anak. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  jo  Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, melindungi, membina, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat dan minatnya. 

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, bukan berarti semua keputusan hak asuh anak hanya mempertimbangkan hal-hal itu saja, tetapi ada hal lain yang menjadi pertimbangan hakim baik dengan alasan-alasan serta bukti-bukti yang cukup jelas dan kuat, seperti agama dari orang tua dan anak, usia anak, kelayakan orang tua untuk memelihara dan mendidik anak, dan kepentingan terbaik anak. Pada dasarnya hak asuh anak harus mempertimbangkan perkembangan spiritual dari anak tersebut, tetapi harus juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memberikan tujuan yang baik untuk anak tersebut, salah satu pentingnya dengan melihat perilaku orangtua yang akan menjadi pemegang hak asuh anak tersebut nantinya.

Jika ternyata keputusan Hakim menyatakan bahwa yang menjadi pemegang hak asuh anak tersebut adalah ibunya, maka berdasarkan Pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ayah akan tetap masih bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan yang diperlukan anaknya. Namun jika ternyata dalam kenyataannya ayahnya tidak mampu atau tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun