Tulisan ini sebenarnya sudah ingin saya selesaikan sejak tahun 2014 lalu. Tahun yang sangat saya nantikan. Saya masih ingat, ketika tahun 2013 saya dengan semangat yang membara membayangkan betapa serunya pesta demokrasi dan persaingan politik pada pemilihan presiden tahun 2014. Sampai akhirnya tahun yang saya tunggu-tunggu tiba. Sejak pemilihan legislatif 2014, saya sudah sangat bersemangat. Saya mengikuti kekuatan masing-masing partai dan koalisinya. Hal ini saya lakukan karena saya sadar betapa berpengaruhnya pengaruh koalisi di legislatif nantinya.
Selama proses Pilkada dan Pilpres, banyak sekali black campaign yang berseliweran. Meski hanya lewat dan mampir di layar kecil di tangan kita, tapi itulah sumber kehidupan saat ini yang dapat mempengaruhi pilihan kita. Di ujung proses, suara mengenai golongan putih kembali bergema. "Jangan golput" katanya. Media (televisi maupun elektronik) hingga public figure bersama-sama menyerukan ajakan ini. Banyak juga teman-teman di media sosial yang saling mengingatkan untuk tidak golput. Jika melihat pada persentase golongan putih pada Pilpres tahun 2004 lalu adalah 23.34%. Sedangkan 2009, persentase golongan putih meningkat menjadi 29.01%. Lalu pada tahun 2014, kita dapat melihat antusiasme masyarakat yang sangat tinggi, tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya-miskin, semua bersemangat. Oleh karena itu KPU menargetkan bahwa angka golongan putih berada dibawah 20% dan maksimal 25%. Hasilnya, tingkat golput 2014 tercatat sebesar 25%, sesuai dengan target KPU.
Esensi
Tetapi apakah intinya adalah menjadi golongan putih atau tidak (memilih atau tidak)? Menurut saya tidak. Menurut saya, poin utamanya adalah memilih dengan memiliki alasan dan argumen yang kuat. Tujuan dari sosialisasi “jangan golput” ini adalah untuk meningkatkan partisipasi dan juga kepedulian masyarakat mengenai bangsa, negara, dan kondisi politik tanah Ibu Pertiwi. Tujuan tersebut itu tentu baik, tetapi di sisi lain ada pula dampak negatifnya, salah satunya adalah dapat membuat kita menjadi bangsa yang konformis. "Setidaknya saya ngga golput" atau "Nih kelingking saya bertinta". Apakah itu esensinya? Jika ia memilih pemimpin yang ia pun tidak tahu rekam jejaknya dan sama sekali tidak mengenalnya, lalu? Apa gunanya?
Saya mendengar cerita dari teman saya, bahwa ada seorang tukang ojek di Jawa Barat yang ketika ditanya memilih siapa untuk pemilihan presiden, ia menjawab (yang intinya) "Belum tahu, saya milih yang banyak dipilih saja". Mungkin ia berpikir bahwa yang banyak dipilih adalah yang lebih baik. Mungkin. Tetapi yang terjadi belum tentu seperti itu, bukan? Pilihan mayoritas sangat tergantung berbagai faktor, misalnya dimana daerah ia tinggal, keterpaparan informasi di daerah tersebut, kesadaran politik, politik uang, kekuatan partai di daerah tersebut, dan lain-lain.
Tingkat partisipasi pemilih memang menjadi salah satu dari indikator keberhasilan pemilu menurut ketua KPU, Husni Kamil Manik. Indikator lainnya adalah negara memiliki aturan dasar pemilu, KPU mandiri dan netral, kondisi yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih dengan bebas-jujur-adil, dan keberadaan masyarakat yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan hak pilih. Tingkat partisipasi saja menjadi kurang baik jika tidak diintegrasikan dengan indikator lainnya, salah satunya adalah memiliki pemilih yang cerdas. Agar dapat menjadi pemilih yang cerdas, kita dituntut untuk dapat peduli dan mencari tahu mengenai calon pemimpin kita. Bukan hanya mengikuti pilihan mayoritas. Bukan hanya melihat poster siapa yang ditempel di tiang listrik depan rumah kita. Bukan hanya memilih siapa yang lebih sering tampil di televisi tanpa mendengarkan apa yang ia bicarakan. Kita dituntut untuk mencari tahu dan kenal dengan calon pemimpin kita.
Rasional
Berbicara untuk mencari tahu, mengenal, dan memahami calon pemimpin mungkin mudah bagi masyarakat kelas menengah-atas seperti kita yang mudah mencari berita dan informasi. Hal ini belum tentu mudah bagi masyarakat kelas sosial ekonomi bawah. Mereka belum tentu memiliki fasilitas, pengetahuan, atau bahkan waktu untuk peduli dengan isu politik di negaranya. Kelompok masyarakat inilah yang harus menjadi perhatian dari KPU. Mereka harus diberi edukasi mengenai apa itu memilih dengan cerdas dan rasional. Mereka juga harus diberikan akses untuk dapat melihat segala informasi mengenai calon tersebut. Bukan hanya sosialisasi untuk tidak golput.
Beberapa minggu lalu, saya membaca wawancara Majalah Tempo dengan Husni Kamil Manik. Pada wawancara tersebut beliau mengatakan bahwa saat ini tujuan sosialisasi Pilkada adalah untuk membentuk pemilih yang rasional, karena indikator keberhasilan pemilu bukan hanya dilihat dari persentase kedatangan calon pemilih ke TPS. Pernyataan ini membuat saya sangat senang dan lega. Tidak hanya itu, KPU juga ternyata memiliki modul pelatihan untuk membentuk pemilih yang cermat dan cerdas.
Menjadi pemilih yang rasional sangat penting saat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan politik dinasti menjadi salah satu perhatian penting. Selain itu, mantan narapidana kini juga boleh kembali mencalonkan diri setelah selesai menjalankan hukuman. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui perilaku para calon pemimpin tersebut di masa lalu. “Past behavior predicts future behavior”. Ini yang dapat kita jadikan pedoman untuk memilih calon pemimpin. Apalagi menurut Hasan Nasbi (Direktur Eksekutif Cyrus Network), budaya di Indonesia masih berada pada tahap legal-formal. Ketika seseorang secara legal dan formal memiliki kesempatan untuk maju mencalonkan diri, maka ia akan menggunakan kesempatan tersebut. Meski sebenarnya ia memiliki catatan hukum di masa lalunya. Di beberapa negara lain, etika sudah menjadi hal yang dianggap penting. Ketika baru diisukan tersangkut suatu kasus, ia dapat langsung mundur dari posisinya.
KPU sebagai lembaga resmi yang sudah memiliki visi untuk membangun pemilih yang rasional, harus kita dorong untuk dapat mencapai cita-citanya tersebut. Kita dapat menyerukan kepada rekan-rekan kita, setidaknya di media sosial, untuk “Ayo cari tahu tentang calon pemimpin kita dan pilih yang terbaik”, bukan lagi “Ayo jangan golput”.
Pilihan
Proses mencari dan bertanya tidak selalu mendapatkan jawaban. Bagi saya, ketika kita sudah berusaha untuk mengenal para calon pemimpin namun tidak mendapatkan kepuasan. Kita juga memiliki pilihan untuk tidak memilih. Memilih untuk tidak memilih ini juga harus diikuti sikap yang bertanggung jawab. Kita bertanggung jawab untuk datang ke TPS dan menggunakan hak suara kita. Silahkan coblos-coblos dan rusak kertas suara tersebut jika kita memutuskan untuk tidak memilih. Kertas suara yang tidak digunakan memiliki kemungkinan untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, mari menjadi pemilih yang cermat, cerdas, rasional, dan bertanggung jawab.
“Just because you don’t take an interest in politics, doesn’t mean politics won’t take an interest in you” -Pericles