Mohon tunggu...
Minarsih Sutarjo
Minarsih Sutarjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Teknik Informatika di STMIK Antar Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Demi pengorbanan pahlawanku, akan kujaga engkau wahai bahasa Indonesiaku

24 September 2012   05:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:49 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13485488291812049080

Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada bahasa Indonesia tentu dalam satu tahun tinggal di Papua wajah saya sudah keriput karena saya akan selalu mengerutkan dahi setiap kali harus memahami orang Papua berbicara. Bahkan selama satu tahun saya di Papua saya hanya bisa menghafal  satu kalimat dalam bahasa Papua yang terukir di Patung yaitu “Eme neme yauware” yang artinya “bersama-sama membangun kota Timika”.   (Cuplikan)

Bahasa Indonesia.

Ketika ada yang menanyakan urutan keberapakah kedudukan bahasa Indonesia dihati saya? Maka saya akan menjawab, “Bahasa Indonesia menempati urutan pertama.”

Proses kelahiran Bangsa Indonesia merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas penjajah. Lalu setelah merdeka mengapa pahlawan kita  menetapkan bahasa Indonesia sebagai salah satu dari  bulir dalam Sumpah Pemuda? Begitu besarkah cinta mereka pada bahasa Indonesia? Hingga mereka  rela mengorbankan nyawa satu-satunya karena inginnya mengikrarkan,

Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.1

Duhai para pahlawanku, begitu besarkah arti bahasa Indonesia dimatamu?hingga kau rela menebusnya dengan cucuran darahmu? Bahkan engkau rela menggadaikan nyawamu satu-satunya untuk bangsa ini. Agar kami anak cucumu bisa menikmati kuat dan indahnya bertumpah darah satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa satu.

Mari kita lihat sejarah bahasa yang digunakan di Indonesia sebelum diikrarkannya Sumpah Pemuda. Menurut pak Abdul Chaer (Pakar Linguistik dan Sejarah Linguistik), sejak abad ke-5 orang-orang Nusantara telah terbiasa menggunakan bahasa Melayu yang merupakan akar dan rumpun bahasa Indonesia. Bahasa Melayu telah menjadi bahasa perdagangan atau lingua franca. Demikian pula pada masa kolonial, bahasa Melayu juga dianggap bahasa resmi selain bahasa Belanda dan bahasa lokal suku-suku.2

Lalu diikrarkanlah  Sumpah Pemuda yang mana salah satu butirnya mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Seolah Indonesia ingin menegaskan kepada dunia bahwa hanya bahasa Indonesialah yang berhak menjadi bahasa resmi di Ibu pertiwi ini. Agar kami, anak cucumu bisa menikmati kuat dan indahnya bertumpah darah satu, berbangsa  satu, dan berbahasa satu.

Mereka sudah tidak lagi mementingkan nama organisasi, semua membawa satu bendera, Merah Putih.  Mereka sudah tidak lagi bertanya dari mana asal mereka, semua membawa satu nama, Indonesia. Meskipun beragamnya bahasa daerah tapi mereka bertekad akan menyatukannya dengan bahasa Indonesia.

Bhineka Tunggal Ika! Berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Ya itulah bahasa Indonesia, bahasa pemersatu  ditengah-tengah keragaman budaya Indonesia. Bahasa Indonesia menjembatani komunikasi antara satu suku dengan suku yang lain. Jika tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu berarti kita tidak hanya harus menguasai satu atau dua bahasa daerah dengan logat uniknya masing-masing saja, tapi mungkin butuh lebih banyak penguasaan bahasa dari beberapa daerah yang berbeda. Seandainya kita ingin menjelajah seluruh bagian dari tanah air tercinta ini, bayangkan ada berapa ratus bahasa  daerah yang harus kita kuasai?

Pasti sangat lucu saat orang jawa mengucapkan bahasa Lampung dengan logat medoknya orang jawa.  Atau saat orang Ambon yang biasa menggunakan bahasa Kai  harus berbicara bahasa Tegal (Jawa Tengah) beserta logat ngapaknya. Mungkin disela-sela pembicaraan dua orang dari suku yang berbeda ini akan diselingin tawa karena kelucuan-kelucuan yang terciptakan. Tapi bagaimana jika justru kesalahpahamanlah  yang terjadi akibat salah mengartikan orang lain berbicara? Tanpa bahasa Indonesia, hidup ini akan terasa sangat sulit bukan?

Sekedar berbagi,  saya dilahirkan di Bandar Lampung dengan latar belakang suku orangtua saya adalah Jawa Tengah dan dibesarkan ditengah-tengah masyarakat Lampung.  Di rumah orangtua saya selalu menggunakan bahasa Jawa untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Saya bahkan lupa kapan dan dengan siapa saya mulai belajar dan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi seingat saya, saya tidak pernah kesulitan berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat bermain dengan teman-teman sebelum saya memasuki bangku sekolah. Dan sejak duduk di bangku kelas satu SD sampai dengan kelas 2 SMP  selain mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saya  juga mendapat pelajaran bahasa Lampung. Saat pelajaran bahasa Lampung kami harus menggunakan bahasa Lampung jika bertanya kepada ibu guru meskipun dengan segala keterbatasan kosakata kami.

Meskipun dengan keragaman bahasa yang saya dapatkan, tetapi kosakata bahasa Indonesialah yang paling banyak saya kuasai. Berbagai buku bacaan seperti majalah Bobo hingga komik yang saya pinjam dari tetangga menambah kosakata saya dari hari ke hari. Entah karna mudahnya mencerna bahasa Indonesia atau karna kecintaan saya pada Indonesia sehingga saya begitu semangatnya ketika dihadapkan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang sangat beragam seperti beraneka macam bentuk majas mulai dari majas litotes hingga majas ironi. Aneka pantun dan puisi. Benar-benar menggambarkan bahwa bahasa Indonesia itu sendiri sangat unik untuk dijelajahi. Tak heran jika nilai pelajaran bahasa Indonesia lah yang mendongkrak nilai raport saya.

Saat saya berinteraksi sehari-hari dengan teman-teman di sekolah, saya banyak  mendapat kosakata baru yang tidak sesuai EYD.  Seperti contohnya saat kata “gue” lebih lazim digunakan sebagai ganti kata “saya”. Akhirnya saya yang dulu memakai kata "aku dan kamu" dengan teman-teman kini harus menggantinya dengan kata "gue dan elu".  Tidak pernah sekalipun saya mendengar Ibu Guru menegur atau menasihati kami saat kami menggunakan kata “gue” atau kata tidak baku lainnya. Padahal sekolah adalah salah satu tempat terbentuknya karakter dan kepribadian calon pemimpin-pemimpin besar bangsa ini. Kalau dilingkungan sekolah saja anak-anak dibiasakan menggunakan bahasa gaul, bagaimana anak-anak ini akan tumbuh dengan kecintaannya dalam berbahasa Indonesia?

Saya sering bertanya pada diri sendiri, darimana teman-teman kecil saya ini mendapatkan kosakata bahasa gaul?  Jawabannya saya dapatkan tiga tahun kemudian, tepatnya setelah orangtua saya memutuskan untuk membeli sebuah TV 14”. Setelah selesai belajar saya boleh melihat tayangan televisi. Betapa terpesonanya saya setiap kali penyiar berita menyajikan peristiwa-peristiwa aktual dengan bahasa yang menarik dan menambah perbendaharaan bahasa Indonesia saya. Saya pun mulai mengenal bahasa jurnalis. Begitu acara berita selesai saya menonton salah satu sinetron dan disinilah saya menemukan kesamaan antara kata-kata yang sering diucapkan teman-teman di sekolah dengan kata-kata yang ucapkan para bintang sinetron ini seperti kata “emang, enggak, gue, bokap, nyokap, ogah” dan kosakata bahasa gaul lainnya. “ooh,, jadi selama ini teman-teman saya belajar bahasa gaul dari sinetron ya? haha”  tuturku dengan lugu.

Setelah lulus SMA saya  merantau ke provinsi Papua. Di Papua kebetulan saya tinggal di sebuah kamar kos dengan empat teman dari suku lain. Saya dan teman saya yang bernama Tuti  berasal dari Jawa Tengah, Nay dari Manado, Nela dari Maluku dan Rina dari Makassar. Kami bekerja di perusahaan yang sama. Bisa kita bayangkan bagaiman kami bisa berkomunikasi tanpa bahasa Indonesia sebagai penghubungnya.

Suatu hari saya berkunjung kerumah kakak yang juga tinggal di Papua. Kebetulan kakak saya tinggal di daerah yang agak jauh dari kota Timika. Kakak mempunyai warung sembako di  depan rumahnya. Kebetulan hari itu kakak sedang mengikuti pengajian di mushola dan saya lah yang harus melayani setiap pembeli yang datang ke warung. Pembeli pertama adalah putra daerah (sebutan untuk orang asli Papua). “Mau beli apa Pak?” saya bertanya dengan ramah. Tapi  di luar dugaan bapak tersebut menjawab pertanyaan saya menggunakan bahasa Papua asli yang benar-benar membuat saya mengerutkan dahi. Saya mencoba memahami kata-katanya lewat isyarat tangan yang beliau berikan. Tapi saya tidak bisa menangkap isyarat yang diberikan bapak tersebut. Mungkin karena putus asa  akhirnya bapak tersebut meninggalkan warung dengan menggerutu. Saat itu saya mengerti betapa pentingnya bahasa pemersatu.

Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada bahasa Indonesia tentu dalam satu tahun tinggal di Papua wajah saya sudah keriput karena saya akan selalu mengerutkan dahi setiap kali harus memahami orang Papua berbicara. Bahkan selama satu tahun saya di Papua saya hanya bisa menghafal  satu kalimat dalam bahasa Papua yang terukir di Patung yaitu “Eme neme yauware” yang artinya “bersama-sama membangun kota Timika”.

Apa semua orang Papua tidak bisa berbahasa Indonesia? Tentu saja tidak. Beberapa  pemuda penduduk asli Papua yang tinggal di sekitar rumah dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Mereka banyak menggunakan kata baku dalam berbicara sehari-hari. Banyak perbedaan yang saya temukan ketika saya berinteraksi dengan masyarakat di Lampung dengan masyarakat di Papua. Contohnya  penggunaan kata “tidak dan saya”. Di Lampung penggunaan kata “tidak” diganti dengan kata “enggak” tetapi di Papua penggunaannya tetap “tidak” ada juga yang menggantinya dengan  kata "tra".  Di Papua inilah untuk  pertama kalinya saya menggunakan kata  “saya” untuk berbicara dengan teman sebaya. Benar-benar luar biasa saudara kita di Papua, mereka mengajarkan bagaimana mereka begitu menghormati pahlawan kita yang sudah memperjuangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kita. Terpencilnya daerah mereka tidak membuat mereka menyerah untuk mempelajari bahasa Indonesia.

Tetapi ada keunikan tersendiri saat teman-teman di Papua berbicara. Mereka memotong beberapa kata menjadi lebih pendek, contohnya kata “saya” mereka potong menjadi “sa”, kata “mempunyai” mereka potong menjadi “pu”. Jadi kalau mereka mau mengatakan “baju saya tidak bisa dipakai karena basah” maka mereka cukup mengucapkan “sa pu baju tidak bisa dipakai karena basah”. Terdengar sangat lucu ya apalagi mereka mengucapkannya dengan logat yang sangat khas.

Setelah satu tahun tinggal di Papua saya mendapat beasiswa kuliah S1 di Jakarta. Mari kita lihat bagaimana penggunaan bahasa Indonesia untuk kita yang tinggal dekat dengan Ibukota atau tinggal tepat di jantung Ibukota? Apa sudah menggunakan bahasa Indonesia sesuai EYD?

Ternyata lebih memprihatinkan. Warga Jakarta tidak hanya menyalahi EYD, tapi juga sudah tidak lagi mengindahkan kesantunan berbahasa. Mereka tidak lagi membedakan dengan siapa mereka berbicara. Banyak sekali remaja yang menggunakan kata “gue” pada saat berbicara dengan ibu bapaknya sendiri bahkan dengan nada tinggi. Dan yang lebih memprihatinkan saya pernah mendengar seorang ibu lah yang menggunakan kata “gue” untuk menyebut dirinya saat berbicara dengan anaknya.

Lain lagi dengan pengalaman ketika saya mencoba untuk menjadi santri penghafal Al-Quran selama satu bulan di kota Tegal ( Jawa Tengah)  yaitu ketika liburan kuliah tepatnya dibulan ramadhan tahun  2012 ini. Saya kesulitan ketika berinteraksi dengan beberapa santri karena keterbatasan kosakata bahasa Indonesia mereka. Para santri ini kebanyakan  menempuh pendidikan formal hanya sampai sekolah dasar. Tetapi seharusnya mereka bisa berbicara bahasa Indonesia karena di SD mereka pasti mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia. Kalau bukan  bahasa Indonesia, lalu bahasa apa yang digunakan guru dan muridnya dalam  proses belajar mengajar mereka di sekolah? Bagaimana  mereka bisa menerima ilmu yang disampaikan guru  jika mereka sendiri tidak memahami kalimat yag diucapkan guru tersebut?

Saya sangat sedih saat menyadari bahwa beberapa anak sangat enggan berbicara dengan saya karena kurangnya percaya diri saat berbicara bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia seakan terdengar  begitu asing ditelinga mereka.  Lidah mereka begitu kelu saat harus berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Untung saja saya punya banyak koleksi  kosakata bahasa Jawa sehingga saya bisa tetap berkomunikasi dengan mereka. Dari percakapan kami, saya mendengar pengakuan dari teman-teman  bahwa mereka takut  untuk meneruskan pendidikan diluar kota tegal karena terbentur masalah bahasa.  Lalu bagaimana jika suatu saat nanti mereka akan mengamalkan ilmunya keluar daerah?  Sangat disayangkan  jika ilmu mereka yang seharusnya bisa mendongkrak akhlak pemuda-pemudi di seluruh Nusantara ini ternyata hanya diajarkan dikomunitas mereka sendiri.

Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab bila kondisi masyarakat kita seperti ini? Sekolahkah? Orangtua? Masyarakat? Media massa? Pemerintah? Atau kita, sebagai pemuda-pemudi Indonesia?

Letak daerah mereka sebenarnya tidak terlalu jauh dengan Ibukota Jakarta. Tapi mereka seakan terasing dengan bahasanya sendiri.

Ingin rasanya saya punya banyak waktu disana untuk memperkenalkan satu demi satu kosakata bahasa Indonesia agar suatu saat mereka bisa menjelajah bumi pertiwi ini dan mengajarkan ilmunya  kepada masyarakat luas.  Tapi maafkan saya teman-teman, waktu liburan kuliah saya hanya tersisa satu bulan. Bulan depan saya harus kembali ke Jakarta untuk  menuntut ilmu. Waktu satu bulan itulah kami manfaatkan untuk belajar bahasa Indonesia. Saya perkenalkan beberapa kata kemudian merajutnya menjadi sebuah kalimat dan mereka  mempraktekkannya satu persatu. Karena takut lupa mereka membuat kamus sederhana di buku tulis mereka.  Senyum dan tawa tidak bisa kami tahan karena kelucuan mereka yang mengucapkan bahasa Indonesia dengan logat jawa yang sangat kental. Mereka benar-benar semangat.

Duhai para pahlawanku, maafkan aku jika aku begitu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengenalkan bahasa kebanggan kita kepada saudara-saudaraku kita. Mudah-mudahan di liburan kuliahku tahun depan aku bisa kembali kesana untuk kembali berbagi ilmu dengan mereka.

Itulah sepotong perjalanan hidup saya bersama orang-orang yang pernah saya temui, yang begitu indah dengan warna-warni budaya dan bahasa daerah tetapi kami disatukan dalam  satu tanah air, satu aliran darah dan satu bahasa dibawah kibaran Sang Saka Merah Putih.

Wahai pahlawanku, kan kuteruskan panji perjuanganmu. Meski tidak sehebat engkau dulu dalam membela bangsa ini, meski tidak dengan cucuran darah dan mempertaruhkan nyawa.

Duhai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, tentu kalian tidak akan membiarkan wanita seperti aku berjalan sendirian. Mari kita saling bergenggam tangan membuat perubahan. Dimulai dengan hal-hal sederhana, salah satunya dengan memenuhi hak-hak yang layak didapatkan oleh bahasa Indonesia sebagai ratu di bumi  Pertiwinya. Dengan menggunakan  bahasa Indonesia dengan baik dan benar serta tutur kata yang santun dalam keseharian kita.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan.

Referensi :

1. http://id.wikisource.org/wiki/Pedoman_Umum_Ejaan_Bahasa_Indonesia_yang_Disempurnakan

2.http://bahasa.kompasiana.com/2011/10/27/sakralisasi-sumpah-pemuda/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun