I. PENDAHULUAN
Perilaku seksual yang normal adalah perilaku yang dapat beradaptasi dengan baik, tidak hanya sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga memenuhi kebutuhan individu untuk kebahagiaan dan pertumbuhan pribadi, yaitu perwujudan diri dan peningkatan kemampuan individu dalam mengembangkan kepribadian yang lebih baik (Maramis, 2004). Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku seksual yang tidak wajar mencakup perilaku atau fantasi seksual yang mencapai orgasme melalui relasi di luar hubungan heteroseksual, dengan sesama jenis atau dengan pasangan yang belum dewasa, serta melanggar norma-norma seksual yang diterima secara umum dalam masyarakat. Salah satu bentuk abnormalitas dalam dorongan seksual adalah pelecehan seksual terhadap anak, yang mencakup tindakan pra-kontak seksual antara anak dengan orang dewasa, seperti incest, pemerkosaan, pedofilia, dan eksploitasi seksual.
Pedofilia adalah perilaku memuaskan hasrat seksual dengan menggunakan anak-anak di bawah umur sebagai objek. Perilaku ini dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, namun sebagian besar pelaku pedofilia adalah pria dengan korban anak perempuan, yang disebut pedofilia heteroseksual, sedangkan jika korbannya anak laki-laki disebut pedofilia homoseksual. Menurut Probosiwi (2015), pedofilia adalah gangguan seksual di mana seseorang memiliki ketertarikan seksual untuk berhubungan dengan anak-anak. Maslim (2013) menjelaskan bahwa pedofilia adalah preferensi seksual yang berulang dan menetap terhadap anak-anak, biasanya yang masih pra-pubertas atau awal pubertas, baik laki-laki maupun perempuan. Termasuk orang dewasa yang biasanya memiliki preferensi terhadap pasangan dewasa, namun karena frustrasi kronis atau faktor lain yang menghalangi hubungan seksual yang diinginkan, kebiasaannya beralih ke anak-anak. Yogatama menambahkan bahwa pedofilia bukan hanya sebuah perilaku tetapi juga sikap yang menyimpang, di mana kecenderungan menyukai anak-anak untuk kepuasan seksual oleh orang dewasa (dalam Ruhma, 2012).
Pedofilia adalah kelainan psikologis yang ditandai dengan ketertarikan seksual yang tidak normal pada anak-anak pra-remaja. Ini melibatkan orang dewasa yang melakukan aktivitas seksual dengan anak di bawah umur, baik melalui manipulasi atau paksaan. Dalam masyarakat tradisional, kasus pedofilia dikaitkan dengan individu yang mencari kekuatan supernatural atau kekebalan. Mayoritas pedofil adalah laki-laki, namun beberapa perempuan juga mungkin menunjukkan kelainan ini. Perilaku ini seringkali melibatkan manipulasi alat kelamin anak atau penetrasi dengan tujuan mencapai kenikmatan seksual.
Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual, khususnya pedofilia, sering kali menderita dalam kesunyian, menghindari mendiskusikan pengalaman mereka dan menutup diri dari orang lain. Hal ini dapat menyebabkan berkembangnya gangguan kecemasan, yang berasal dari konflik internal yang berkepanjangan seperti perasaan bersalah dan putus asa. Dampak pedofilia terhadap korban bervariasi tergantung pada usia mereka, dengan korban biasanya menunjukkan perilaku seperti penarikan diri, disfungsi seksual, depresi, rendah diri, pikiran untuk bunuh diri, penyalahgunaan narkoba, dan melarikan diri dari rumah. Dalam kasus pedofilia heteroseksual, korban mungkin mengalami trauma mental, rasa malu, dan depresi berat. Di sisi lain, korban pedofilia homoseksual mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku karena trauma yang dialaminya.
Oleh karena itu, dari latar belakang permasalahan diatas, Penulis akan melakukan penelitian yang bersiifat studi literatur untuk mengetahui secara lebih mendalam terkait kasus penyimpangan seksual pedhofilia dan dampak negatif yang dapat dihasilkan dari perbuatan seksual yang menyimpang ini terhadap korban. Oleh karena itu, penulis akan membahas topik penelitian ini dengan judul artikel "Penyimpangan Seksual: Penyebab Munculnya Perilaku Pedhofilia dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental Korban."
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penyimpangan Seksual dan Perilaku Pedofilia
Kasus penyimpangan seksual semakin marak terjadi di Indonesia. Meningkatnya jumlah kasus penyimpangan seksual terhadap anak menjadi fenomena yang menarik perhatian berbagai kalangan, baik tua maupun muda. Perilaku penyimpangan seksual adalah tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh semua kalangan di masyarakat karena tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama (Abidin, 2018). Penyimpangan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik tindakan verbal seperti perilaku nyata pelecehan maupun nonverbal seperti ucapan atau perkataan yang dilontarkan (Novrianza & Santoso, 2022). Selain itu, pelecehan seksual terhadap anak juga mencakup tindakan meminta atau memaksa anak untuk melakukan aktivitas seksual, serta memberikan perlakuan yang tidak pantas kepada anak, contohnya penyimpangan seksual dengan adanya perilaku pedofilia yang mengancam anak-anak.
Perilaku penyimpangan seksual adalah bentuk perilaku seksual yang tidak diterima oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama yang berlaku (Abidin, 2018). Menurut teori dasar Psikologi Abnormal, Freud (1963) menyatakan bahwa pedofilia diartikan sebagai bentuk ketertarikan seksual terhadap anak-anak sebelum pubertas. Pelaku pedofilia memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun (Wardhani & Kurniasari, 2016).
Pedofilia adalah kejahatan yang dikutuk secara universal dan tidak dapat dan tidak akan diterima oleh masyarakat, sebagian besar disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum dan efektivitas pilihan terapi yang tersedia. Menurut DSM IV-TR, pedofilia ditandai dengan fantasi, dorongan, atau tindakan seksual yang melibatkan anak-anak pra-remaja, dengan pelaku berusia minimal 16 tahun atau lima tahun lebih tua dari korban.