Mengulang pertanyaan seorang sahabat, Apakah polah ugal-ugalan ada dalam ilmu komunikasi, khususnya yang terkait ranah publik? Jika ada, apakah yang membuat hal itu bisa terjadi serta apa solusinya? Benarkan efek komunikasi publik seperti teori peluru, tajam dan berdampak ke audiensnya seketika?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, agar lebih menarik daripada sekedar paparan teori, coba saya sampaikan dengan menyodorkan berbagai hal yang terjadi dalam kekinian kita. Selalu kita terima melalui ragam media, mulai dari media elektronik, media online dan yang paling populis saat ini adalah medsos.
Contoh paling dekat dan anyar adalah pemandangan proses demokrasi kita yang konon dihiasi dengan ragam info kecurangan namun itu ditampik oleh pihak penyelenggara.
Bagaimana ratusan petugas pemilu yang meninggal dan ribuan yang sakit tanpa ada penjelasan resmi dan terperinci dari pemerintah? Bagaimana hasil pemilu yang secara tegas tidak diterima oleh pihak 02 namun diapresiasi oleh Pihak 01 yang dinyatakan menang oleh KPU.
Peristiwa 21-22 mei 2019 yang begitu banyak menyimpan fakta yang tak dikuak secara gamblang di depan publik Indonesia. Dan disusul dengan jalur konstitusional yang ditempuh oleh pihak 02 di Mahkamah Konstitusi.
Tentu sepakat, hal-hal tadi masih belum secara terang dapat diungkap oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah. Bahkan ada kesan yang dirasakan oleh sebagian publik ditutup-tutupi.
Melihat peristiwa-demi peristiwa tersebut kemudian bagaimana komunikan publik dalam hal ini para pejabat pemerintah maupun dari aparat hukum serta para komunikan publik di luar lingkar pemerintahan berkomunikasi ke publik melalui medium-medium yang ada tampaknya justru kesimpangiuran yang kita dapatkan.
Jika mengacu pada komunikasi sebelum pilpres hingga paska 21-22 mei, secara pribadi yang saya tangkap adalah kesimpangsiuran. Dan tentu gaduh komunikasi atau bisa kita sebut komunikasi yang ugal-ugalan tersebut Alih-alih mempersatukan warga sebagai komunikan yang baru melewati masa-masa terpanas kiita, melainkan justru semakin mempertebal jarak pemisah antarpublik di Indonesia.
Saya jadi teringat sebuah catatan yang menyatakan bahwa Ketika publik gusar atas intranparansi komunikasi para komunikan public yang muncul justru gelombang penolakan/demo ada dimana-mana. Dan ini kita bisa lihat paska pemilu 17 April lalu hingga sekarang.
Bagaimana kita melihat masyarakat di berbagai kota melakukan aksi untuk pembentukan tim pencari fakta atas kematian para petugas pemilu yang mencapai lebih dari 500 orang dan bahkan Demokrasi kita ini dianggap berubah sebagai tragedi. Bahkan ada yang menyebut sebagai pesta demokrasi terburuk sepanjang sejarah republik ini.