Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Cara Hidup Bahagia adalah Keluar dari Grup WhatsApp, Setuju?

5 November 2021   13:45 Diperbarui: 6 November 2021   04:09 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelihatannya ada yang salah dengan judul tulisan ini. Apa hubungannya antara keluar grup WhatsApp dengan bahagia? Secara logika, hampir tidak ditemukan korelasi antara keduanya. 

Tetapi begitulah ungkapan seseorang yang merasakan bahwa banyaknya grup WhatsApp yang berseliweran, dan memasukkan sebagai members tanpa izin. Tiba-tiba nama kita sudah muncul sebagai anggota sebuah grup.

Kesal? Pastinya setiap orang akan merasa tidak nyaman dengan tindakan tersebut. Namun masalahnya adalah yang meng-invite juga kawan atau orang yang kita kenal. Pun begitu tetap saja ada etika yang dilanggar. Apalagi jika tindakan seperti itu dilakukan oleh seseorang yang kita tidak dikenal.

Celakanya, setelah menjadi anggota grup tersebut, lalu kita menerima begitu banyak postingan yang tidak relevan dengan nama grupnya. Misal nama grupnya tentang bisnis, tapi konten-konten yang diposkan oleh anggota lain atau admin malah perihal politik. Sehat nggak sih?

Harus kita akui budaya masyarakat Indonesia (tidak semua) dalam konteks berbagi literasi masih jauh dari harapan. Tidak saja pada budaya membacanya, juga kemampuan untuk berpikir kritis pun masih perlu ditingkatkan.

Badan Dunia (UN) dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) pernah mengeluarkan laporanya pada tahun 2016, negara Finlandia menduduki peringkat pertama dunia dengan tingkat literasi paling tinggi. Sedangkan negara kita Indonesia hanya peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei.

Hasil riset ini benar-benar mengkonfirmasi secara empiris pada praktik budaya membaca, menulis, dan berpikir kritis (critical thinking) masyarakat. Artinya temuan tersebut tidak dapat ditolak.

Mungkin kita sering atau pernah merasa kesal oleh ulah sebagian teman kita sendiri dalam satu grup WhatsApp. Misalnya, ketika ada informasi penting untuk dibaca, dan disana sudah tertulis secara detil pesan-pesan penting apa saja, justru teman-teman grup malah menanyakan berbagai pertanyaan. Padahal semua yang ditanyakan sudah ada sekiranya mereka membaca.

Terus, tidak satu orang saja yang menanyakan hal sama bahkan berulangkali setiap kali anggota yang sedang online. Akhirnya pesan chat di grup menjadi penuh dan ramai. Ini bukti bahwa memang malas membaca.

Inillah tradisi yang sudah hampir mengakar dalam menghuni sebuah grup WhatsApp, mungkin juga komunitas lainnya yang tergabung dalam satu chating group. Andai kita mencari kebahagiaan dari berkomunikasi dan interaksi di grup WhatsApp, maka hampir-hampir tidak kita temukan. Sehingga cara yang paling baik agar bahagia adalah keluar (left) dari grup. Hehe (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun