Harian Serambi Indonesia edisi Selasa, (10/12/2019), memberitakan Pemerintah Aceh akan membeli empat pesawat terbaru produksi PT Dirgantara Indonesia (DI), yakni N219.
Penandatanganan perjanjian kerja sama pengadaan pesawat tersebut dilakukan oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dan Direktur Utama PT DI, Elfien Goentoro di Gedung Pusat Manajemen PT DI, Bandung, Senin, (9/12/2019).
Dalam dokumen kerja sama itu juga tercantum perjanjian pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengoperasian transportasi udara di Aceh. Untuk kerjasama pengembangan SDM akan dimulai pada tahun 2020 sedangkan pengadaan armada pesawat dimulai pada 2021-2022 mendatang.
Rencana Pemerintah Aceh itu pun kemudian menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat Aceh. Ada yang setuju dan tidak sedikit pula yang menolak, dengan alasan Aceh pernah punya pengalaman merugikan dalam pengelolaan Seulawah Air, maskapai komersial milik Pemerintah Aceh.
Nova Iriansyah boleh saja beralasan pengadaan pesawat tersebut untuk menjawab permasalahan konektivitas antar daerah. Ditambah dengan embel-embel dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan pembangunan Aceh. Namun rakyat juga tidak bodoh. Secara nalar, argumentasi Plt Gubernur Aceh terlalu mengada-ngada.
Padahal sejumlah pihak swasta sudah pernah mencoba menjalankan penerbangan perintis, tapi kemudian menghentikan operasinya karena alasan ekonomis. Artinya perekonomian mana yang akan meningkat dan berkembang?
Di sisi lain, Aceh saat ini sedang dipertanyakan oleh banyak pihak. Terutama terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah standar nasional bahkan menjadikan daerah Aceh sebagai provinsi paling miskin di Sumatera. Mengapa Aceh dengan anggaran begitu besar namun tingkat kemiskinan tertinggi?
Ataukah Pemerintah Aceh membutuhkan pesawat untuk memantau rakyat miskin dari udara? Ini tentu pertanyaan yang kurang cerdas. Tapi begitulah pertanyaan yang diajukan oleh rakyat bawah. Apalagi dalam APBA 2020 Pemerintah Aceh juga menghentikan program pembangunan rumah dhuafa.
Sehingga mudah saja bagi rakyat mengaitkan antara anggaran beli pesawat dengan anggaran rumah dhuafa. Dalam benak rakyat Aceh terlanjur tertanam bahwa dana pembangunan rumah orang miskin tersebut dialihkan untuk pengadaan transportasi mewah itu.
Dalam konteks tersebut rakyat Aceh menilai rezim ini tidak memiliki kepekaan terhadap kaum marginal. Mereka lebih mengedepankan program Aceh Hebat dengan membeli pesawat ketimbang membangun infrastruktur produktif di pulau-pulau terluar dan terisolir di seantero Aceh. Pemerintah Aceh seperti buang badan untuk tanggung jawab tersebut.
Memang benar, secara geografis konektivitas Aceh hanya bisa dihubungkan dengan transportasi laut atau udara. Itu sebagai fakta. Tapi tidak adakah strategi lain yang lebih pro poor untuk membuat Aceh saling terhubung? Misalnya melalui jalur laut dengan membeli kapal yang representatif untuk pengangkutan antar pulau.