Meski sudah 74 tahun negara ini merdeka namun persoalan pendidikan ternyata belum juga ditemukan pola terbaiknya untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Mengapa demikian? Apakah pemerintah tidak mampu membuat strategi dan kebijakan yang tepat?
Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Nadiem Anwar Makarim mengumumkan telah mencabut Ujian Nasional (UN) pada pendidikan dasar dan menengah, mulai berlaku tahun 2021. Kebijakan Kemendikbud yang baru ini berarti menghapus kebijakan yang telah dibuat oleh menteri sebelumnya.
Mendikbud mengatakan penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Jadi tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya.
Restorasi pendidikan yang ditawarkan Nadiem merupakan program Pendidikan Merdeka, begitu ia sebut saat menjelaskan Program Pembelajaran Nasional dihadapan media di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Ide Makarim tersebut sebagai bentuk terobosan di sektor pendidikan guna mewujudkan visi Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk menghasilkan SDM Indonesia unggul. Namun apakah kebijakan ini akan memberikan hasil yang begitu cepat? Tidak ada yang dapat memastikan.
Bongkar pasang kebijakan pendidikan di negara kita seakan telah memberi kesan jika persoalan ini begitu rumit. Hampir pasti bahwa setiap pergantian rezim maka diikuti pula dengan program yang baru. Padahal program yang sebelumnya baru saja dimulai atau masih dalam proses pelaksanaan.
Kita bisa cek sendiri kebenarannya. Paska jatuhnya orde baru, atau pada era reformasi praktis seluruh kebijakan nasional kerap berganti-ganti secara cepat. Seolah hanya mengikuti keinginan penguasanya saja. Sehingga kedewasaan sebuah kebijakan menjadi tidak ada. Sebab sering prematur.
Begitu pula halnya dengan Menteri Nadiem Anwar Makarim, program yang akan dilaksanakan oleh kementerian yang dipimpinnya selama lima tahun kedepan tidak ia gambarkan output dan outcome lulusan atau profil peserta didik secara jelas. Makarim lebih banyak bermain pada pengaturan akses dan pengurangan beban guru dan siswa.
Bisa dikatakan dari hal yang menurutnya rumit dibuat menjadi lebih sederhana dan fleksibel. Misalnya pelaksanaan ujian, zonasi atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), RPP, dan pemerataan tenaga guru. Semua program tersebut secara langsung tidak berpengaruh secara signifikan pada kualitas peserta didik.
Padahal bila bicara soal pendidikan, kegiatan utama yang paling penting adalah bagaimana sistem proses itu dijalankan. Kualitas pendidikan diukur dengan output yang jelas dan dicapai melalui satu intervensi yang tepat melalui sebuah proses pembelajaran. Ini yang belum disampaikan oleh Menteri Nadiem Makarim.
Adapun kesenjangan yang terjadi atau terdapat antar sekolah, itu memang sudah berlangsung sejak lama. Sekolah di perkotaan memiliki fasilitas lebih bagus dan lebih lengkap daripada sekolah diperdesaan. Begitu kualitas guru, guru di daerah kurang mendapatkan perhatian dalam banyak hal terutama kesejahteraan mereka dan keluarganya.