"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, & bila di amanati dia berkhianat." (HR Muslim).
Kutipan di atas menggambarkan politisi munafik yang kini banyak bergentayangan di Indonesia. Jika bahasa kerennya mereka bergelar "politisi ulung dan pandai bersilat lidah." Menutupi kebenaran, menukarnya dengan perkataan dusta itulah siasatnya.
Misalnya pura-pura lugu padahal licik, pura-pura peduli padahal bodo amat, atau sifat-sifat yang berbeda 100 derajat di depan maupun di belakang. Bagai Bunglon yang pindah tempat beda sifat.
Di sekitar kita kini banyak berseleweran para politisi munafik dengan gaya politik muka dua dan kemunafikan. Sehingga Runciman berpendapat bahwa kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik. Hipotesa ini sulit ditolak.
Kita hanya perlu mencoba untuk membedakan antara kemunafikan berbahaya dan tidak berbahaya dan perlu khawatir hanya sekitar jenis paling merusaknya. Sebab tidak mungkin menghilangkan sama sekali jenis politisi munafik di era demokrasi. Bahkan mungkin kita harus berhenti berusaha menghilangkan segala bentuk kemunafikan.
Dalam politik negara, komitmen kepada rakyat adalah hal utama. Memainkan politik muka dua sejatinya sama saja dengan bentuk kemunafikan politik rakyat. Kemunafikan selalu menumbuhkan sikap politik yang plin-plan dan mencla-mencle. Bahkan, dalam bertindak pun tidak segan-segan menempuh penghalalan segala cara untuk semata-mata kepentingan diri dan kelompoknya.
Pada taraf ini kemunafikan politik mulai memunculkan bahayanya. Bagaimana tidak? Politisi dalam sistem demokrasi merupakan ujung tombak dalam membela kepentingan rakyat. Pada mereka lah rakyat berharap dan menitipkan aspirasi (amanah) mereka untuk diperjuangkan. Namun bagaimana jadinya bila amanah itu dikhianati?
Permainan politik semacam itu adalah kejam. Kekejaman politik bermuka dua adalah menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan untuk menumbuhkan harapan dan citra positif di mata rakyat saja. Sedangkan subtansinya adalah demi keuntungan pribadi dan kelompoknya belaka.
Adagium politik yang menyatakan "tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi." rasanya benar-benar dipraktikkan oleh politisi munafik manapun. Mereka hanya berorientasi pada berburu kekuasaan dan jabatan semata. Sayangnya mereka tidak memiliki rasa malu kepada rakyat.
David Runciman, dalam bukunya Political Hypocricy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan, politik muka dua merupakan cermin kemunafikan politisi. Di atas panggung politik, para politisi berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya.
Politisi munafik seakan memiliki keahlian lain dalam menampilkan dirinya di depan setiap orang. Kepiawaian mereka bertutur kata-kata manis dan bertopengkan seribu wajah tidak diragukan. Mereka sering menampilkan topeng wajah kebaikan yang mendatangkan tepuk tangan meriah dan kekaguman. Padahal sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipuan.