Membangun persepsi melalui narasi perang total dalam upaya memenangkan pilpres 2019 terlanjur dilakukan oleh petinggi TKN Jokowi-Ma'ruf Amin. Beliau adalah Bapak Moeldoko Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional paslon 01.
Meskipun maksud perang total melawan Prabowo-Sandi diarahkan pada kompetisi secara sehat oleh Moeldoko, namun menggunakan diksi "perang total" ternyata kini disadari hal itu sangat tidak tepat. Tidak tepat karena kata tersebut dapat membangkitkan nafsu saling menghabisi satu sama lain atau pihak kontra dengan berbagai cara demi untuk menang.
Kata "perang" apalagi "perang total" merupakan bentuk sikap kasar, bringas, dan brutal yang mungkin dipahami oleh pendukung dan lawan. Hampir tidak ada arti positif terhadap kata yang disebut perang. Karena perang identik dengan bermusuhan.
Memang patut disesali mana kala menabalkan kata perang total dalam sistim pemilu kita sebab hal itu bertolak belakang dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. Perang hanya pantas disandangkan pada pundak para pejuang pembela kebenaran. Sekali lagi patut disayangkan.
Mengadopsi konsep perang dan pola pikir pertempuran dalam pesta demokrasi terbukti telah merusak hari-hari rakyat yang mestinya memang berpesta. Lihatlah bagaimana ketegangan terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat yang dulunya adem, damai, dan saling bersosialisasi tetapi karena disusupi kata perang dalam sistem berpikir mereka maka mereka bersikap sangat agresif dan menyerang serta mengembangkan kecurigaan tinggi terhadap orang yang bukan bagian dari kelompok mereka.
Sekedar menganalisis kembali, beginilah pernyataan Wakil Ketua TKN. "Strategi, saat ini kita menyebutnya dengan istilah perang total. Di mana hal-hal yang kita kenali adalah menentukan center of gravitydari sebuah pertempuran itu.Â
Kita sudah memiliki center of gravity itu, sehingga kita tahu harus bagaimana setelah mengenali center of gravity itu," ucap Moeldoko di Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (liputan6, 13/2/2019).
Barangkali karena beliau mantan seorang jenderal yang memiliki keahlian berperang atau ahli strategi perang sehingga senang menggunakan kata "perang" sebagai alat mencapai kemenangan pilpres. Dan ini tergolong narasi baru dalam sistim demokrasi Indonesia.
Alhasil pemilu Indonesia 2019 benar-benar "berdarah-darah", saya gunakan diksi berdarah-darah untuk menggambarkan bagaimana "perang total" itu sungguh terjadi di lapangan dan mengakibatkan jatuhnya korban dari dua kubu yang bertarung. Korban jatuh karena sengitnya pertempuran yang diciptakan.
Korban yang paling besar terjadi adalah rusaknya toleransi, persatuan bangsa, dan abadinya sikap berperang antar sesama. Fakta itu dapat kita lihat secara jelas dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang ini.Â
Lebih-lebih di media sosial, saling serang secara kasar, brutal, dan kehilangan penghormatan satu sama lain menandakan bahwa perang itu masih terus berlangsung dan mengorbankan nilai-nilai Pancasila serta Kebhinnekaan kita padahal pemilu sudah berlalu.