Profesi dosen memang sangat mulia diantara beberapa profesi lain yang ada. Mulia karena tugasnya memberikan ilmu pengetahuan bagi orang lain. Apalagi jika ilmu yang diajarkan itu bermanfaat bagi mereka yang diajarkan.
Kalau diurutkan meskipun bukan profesi yang pertama yang paling mulia namun paling tidak pada tingkat sosial, masyarakat masih menghargai dan menghormati mereka yang berprofesi sebagai dosen karena dianggap sebagai guru, sosok jembatan ilmu bagi anak-anak mereka.
Tetapi meski dimuliakan namun ternyata kesejahteraan dosen, terutama dosen yang bekerja pada perguruan tinggi swasta (PTS) masih banyak yang hidup dibawah standar atau belum sejahtera. Fakta ini terlihat pada kemampuan ekonomi sang dosen yang relatif ekonomi lemah.
Kesejahteraan dosen PTS sangat tergantung dengan jumlah gaji yang ia terima untuk dibawa pulang (take home pay). Berbeda dengan gaji dosen PNS yang sudah memiliki standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Gaji dosen PTS sangat bervariasi karena tergantung kemampuan PTS tersebut untuk menggaji seluruh dosen dan karyawan mereka.
Saat ini masih ada kampus PTS yang menggaji dosen tetapnya dengan jumlah dibawah standar upah minimum. Bahkan gaji pokok dosen PTS kisaran dibawah 1 juta rupiah per bulan dengan jumlah jam kerja 40 jam per minggu. Gaji sang dosen yang mulia setara dengan gaji buruh bangunan yang juga sangat mulia.
Jika upah minimum regional atau provinsi menetapkan minimal 3 juta rupiah maka terdapat gap yang sangat lebar dengan gaji dosen PNS dengan golongan IIIB. Artinya dosen swasta sangat tidak dihargai dalam sistim pengajian. Tentu saja hal ini bukanlah semua kesalahan PTS karena pendapatan kampus ini pun bergantung pada jumlah mahasiswa yang masuk.
Namun bagaimana jika PTS besar yang sudah maju dan memiliki banyak mahasiswa, apakah dosennya juga sejahtera? Hasil penelitian salah seorang dosen yang bekerja di kampus besar tersebut ditemukan ternyata hanya 30 persen saja yang sejahtera sedangkan selebihnya masih dibawah sejahtera.
Rata-rata dosen PTS yang sudah sejahtera tersebut ternyata disebabkan karena sudah memiliki masa kerja yang lama, jabatan akademik antara lektor dan lektor kepala menuju guru besar, dan telah menerima tunjangan sertifikasi dosen (serdos) dari pemerintah. Sedangkan gaji pokok mereka di PTS di mana mereka bekerja tidak naik secara signifikan.
Gambaran ini tentu sangat memilukan dosen PTS. Dengan beban kerja yang sangat banyak mulai sks wajib mengajar, penelitian, kegiatan pengabdian masyarakat, dan bimbingan mahasiswa yang semua itu tidak mendapatkan support anggaran yang memadai dari pihak kampus. Bahkan dosen cenderung didorong untuk mencari sendiri pendanaan. Sedangkan ketika ada hasilnya justru kampuslah yang lebih banyak menikmati.
Kondisi tersebut telah memberikan dampak tidak baik bagi semangat dosen PTS untuk mengabdi kepada dunia pendidikan. Masa iya dosen tidak boleh menerima gaji yang layak dari PTS. Dan mengapa pemerintah hanya menyediakan serdos saja bagi dosen PTS? Sementara disisi lain Kementeristek Dikti meminta dosen untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya artikel ilmiah.
Dosen juga manusia, mereka butuh makan, biaya hidup dan membiayai keluarga. Tidak mungkin dosen akan fokus pada tugasnya jika masalah kesejahteraan mereka dan keluarganya tidak ada yang memikirkan, atau apakah dosen swasta harus menunggu sampai jadi lektor dulu baru dapat haknya? Sungguh memilukan sekaligus memalukan. Dimana negara? (*)