Judul ini berangkat dari sebuah pengalaman pribadi. Bahkan untuk kesekian kalinya peristiwa ini terus terjadi secara berulang. Sehingga hampir saja menjadi kebenaran. Tetapi apakah memang benar bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kesulitan akses?
Yang dimaksud kesulitan akses di sini adalah memiliki hambatan yang sangat signifikan dalam komunikasi maupun untuk memperoleh layanan. Misalnya sering tidak membaca pesan yang kita kirim, boro-boro membalasnya, mengabaikan panggilan telepon, dan tidak membalas email atau bentuk-bentuk lain.
Jika mau diajak untuk ketemu mereka selalu mengelak, mungkin juga menolak dengan alasan tidak ada waktu, sibuk dengan pekerjaan, dan masih banyak lagi yang intinya tidak bisa. Meskipun kita tahu salah atau benar, namun kerap alibinya selalu ada.
Saya pernah punya relasi yang sederajat dan setara pada satu bidang. Kami membina hubungan sebagai mitra kerja pada sebuah organisasi. Dengan setiap hari selalu bertemu sehingga sering terjadi diskusi dan berbagi informasi di antara kami.
Hubungan kami belangsung cukup hangat karena obrolan yang sering kami lakukan pun sederajat dengan status sosial kami. Bisa dikatakan keadaan hubungan atau relasi tanpa ketimpangan. Keakraban itu belangsung cukup lama, sampai sebuah situasi baru mengubah segalanya.
Bermula dari jenjang pendidikan. Saat itu teman saya ini rupanya melanjutkan pendidikan ke doctoral. Meskipun saya tahu, namun waktu sebelum benar-benar menjadi seorang ilmuan dengan gelar doktor, dia tidak berubah sama sekali.
Seiring waktu berjalan, dan ditambah kesibukan masing-masing. Kebiasaan sebelumnya kami sering bertemu dan mudah juga diajak ketemu serta saling ngobrol, kini berganti seakan-akan mulai ada dinding yang memisahkan. Dia mulai jarang berkomunikasi dan sulit dihubungi.
Teleponnya lebih sering tidak aktif dan pesan singkat tidak dibalas. Dan saya pun mulai berpikir negatif tentang dia. Sampai bertanya-tanya, apakah karena gelar doktor yang ia sandang sehingga ia berubah? Pikiran buruk tersebut mulai mengait-ngaitkan dengan kondisi yang ada. Karena mengingat diri yang belum bergelar doktor.
Agar tidak terjebak pada sikap memandang sebelah mata, akhirnya saya pun melakukan investigasi, check and rechek.Â
Langkah pertama saya mulai dengan bertanya pada teman-teman kami semua. Apakah mereka juga merasakan ada perubahan sikap teman kita yang sudah doktor itu? Dan ternyata jawaban mereka iya, benar ada perubahan yang sangat mencolok.
Namun anehnya ketika kami menanyakan tentang seseorang tersebut kepada teman-teman mereka yang sama-sama doktor.Â