Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Segregasi Politik Pilpres Menuju Kematangan dan Prabowo-Sandi Dikucilkan?

14 Februari 2019   21:16 Diperbarui: 14 Februari 2019   21:39 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Termasuk berita yang hari ini beredar soal dugaan politisasi masjid. Konon kata berita pengurus salah satu masjid di Semarang menolak capres 02 Prabowo Subianto untuk shalat Jumat ditempat tersebut besok. Menurut sumber itu, alasan penolakan karena diduga ada upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik 02 yang dilakukan oleh pendukungnya. Sehingga pihak masjid merasa keberatan.

Memang harus diakui posisi kubu 02 dalam beberapa bulan ini dalam posisi sangat sulit. Kubu 02 terlihat hampir tidak mampu menahan serangan kubu 01. Serangan kubu petahana yang sporadis menggunakan isu "pembohong" kian melemahkan kubu Prabowo-Sandi.

Mungkin serangan kubu 01 itu bukan tanpa alasan, sebagaimana disinggung oleh politisi Golkar, partai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, Mutya Hafidz, ia mengatakan bahwa Jokowi tidak akan menyerang jika dirinya tidak diserang lebih dahulu. Pernyataan Mutya tersebut bermakna jika selama ini Jokowi sedang melakukan serangan balik terhadap Prabowo Subianto.

Namun apapun yang dikatakan, kita mesti sadar bahwa ini adalah tahun politik. Sehingga publik selalu menggunakan kaca mata politik dalam melihat prilaku kandidat kedua kubu. Termasuk keraguan publik terhadap ucapan Mutya, terutama diragukan oleh kubu penantang.

Selain segregasi ideologi, pembunuhan karakter, segregasi politik juga dilakukan dengan memisahkan antara pendukung pemerintah dan "anti" pemerintah. Dan sayangnya kubu oposisi digiring pada kelompok "anti pemerintah," meskipun secara ilmiah pengertian kelompok oposisi adalah pihak yang tidak ikut dalam pemerintahan, dan tidak bisa dikatakan sebagai anti pemerintah.

Penggiringan itu menunjukkan bahwa ada upaya penetrasi segregasi politik sedang berlangsung. Tentu saja diikuti dengan sejumlah target tertentu. Fenomena ini terbaca pada reaksi yang diperlihatkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa saat ketika mendapatkan kritikan tajam pada berbagai kebijakan yang dijalankannya oleh pihak opisisi, dan kemudian sang pengkritik sering berujung pada kasus hukum dan vonis penjara.

Dalam konteks segregasi politik barangkali kita bisa belajar pada pilpres Amerika, baik pada masa Obama maupun Donald Trump. Perpecahan masyarakat AS saat itu sangat nyata terjadi. Polarisasi antara kelompok pendukung sebagai pro dan tidak mendukung sebagai kelompok anti kian tajam. Yang pada akhirnya masyarakat Amerika baru menyadari jika mereka sedang berada pada situasi segregasi sosial.

Situasi itu sebagaimana tergambarkan dalam tulisan Dan Bristow, "kita membiarkan diri kita terpisah dari pandangan politik, dan di sinilah kebencian dan kekejian tampak benar-benar terlihat. Tampaknya beberapa orang tidak dapat menangani orang lain yang memiliki pendapat berbeda."

Contoh yang saya lihat sendiri adalah, "Saya bukan pendukung Obama dan saya diberitahu bahwa itu tidak ada hubungannya dengan kebijakannya, hanya saja tidak bisa menangani pria kulit hitam sebagai presiden." begitu Bristow menukilkan.

Jadi kita perlu memelihara suasana sosial masyarakat Indonesia secara baik. Jangan sampai rakyat melihat demokrasi sebagai perlombaan kekuasaan. Oleh karena itu segregasi politik, ideologi, hingga menghancurkan struktur sosial tidak dilakukan demi kekuasaan. Karena biayanya sangatlah mahal.

Inilah pesan perdamaian yang selalu disuarakan oleh rakyat dipelosok yang jauh dari istana. Mereka menginginkan pilpres sebagai ajang untuk mendapatkan calon presiden yang berkualitas, otentik, dan bukan kepalsuan. Maka dari itu biarkan setiap dinamika tumbuh berkembang tanpa perlu disudutkan atau diubah faktanya.UB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun