Berita sensasi hari ini (Senin, 14/1/2019) datangnya dari Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) kubu Prabowo-Sandi, Joko Santoso mengatakan, Prabowo Subianto akan mengundurkan diri jika terdapat potensi kecurangan dalam Pilpres 2019. Ide mengundurkan diri dari perhelatan pesta demokrasi pilpres dilatarbelakangi oleh alasan hak pilih orang gila.
Joko Santoso mensinyalir adanya hak pilih bagi orang gila (tuna grahita) sebagai indikasi adanya potensi atau bakal adanya potensi kecurangan dalan pilpres 2019. Karena itu kubu Prabowo-Sandi mengambil langkah-langkah atau sikap lain jika kaum disabilitas mental ini dipaksakan untuk tetap harus memilih dalam pemilu kali ini.
Mantan Panglima TNI era SBY tersebut lebih lanjut mengatakan kalau Tuhan saja sudah tidak memberikan tanggung jawab apapun lagi terhadap mereka (orang gila), lalu mengapa kita justru memberikan tanggung jawab yang sangat besar kepada mereka  untuk memilih calon anggota legislatif dan presiden-wakil presiden yang akan mengelola negara ini. Pertanyaan siapa yang tidak waras?
Atau jangan-jangan inikah bukti atau fakta yang muncul atas gurauan almarhum Gus Dur dulu? Seingat saya beliau pernah mengatakan memang orang yang memilih dia jadi presiden memang gila. (ingat waktu itu masih dipilih oleh MPR RI), sebagai representasi rakyat Indonesia. Dan kini terbukti bahwa orang gila yang sebenarnya ternyata dibolehkan ikut memilih presiden.
Dan jika dipikir-pikir apa yang dikatakan oleh Joko Santoso sebetulnya ada benarnya juga. Kemudian kita bertanya bagaimana kajian ilmiahnya bahwa orang gila layak memilih caleg dan capres? Bukan perkara hak atau kewajiban. Ini soal logis atau tidak logis dalam pendangan yang umum dan ilmiah. Mestinya untuk kebijakan seperti ini harus berdasarkan kajian akademik yang menerangkan hal itu secara logis. Sehingga negara atau penyelenggara pemilu (KPU) dapat dipercaya kredibilitasnya. Dan yang lebih penting lagi tidak ditertawakan oleh negara lain.
Atau barangkali orang gila memilih anggota parlemen atau presiden memang sudah pernah dilakukan di negara lain. Jika memang ada, maka jadikan negara tersebut sebagai reference atau benchmark untuk dicontohi. Yang jelas kita perlu pastikan apa alasan ilmiah mengikut sertakan orang gila dalam pileg dan pilpres 2019.
Selain kajian scientific, dasar hukum yang jelas dan tegas juga perlu ditunjukkan ke publik. Adakah Undang-undang terkait pemilu yang memerintahkan penyelenggara untuk mengikutsertakan orang gila dalam pemilu? Hal itu saya perlu karena yang dikelola oleh KPU adalah kepentingan negara, bukan kepentingan sekelompok orang.
Lantas bagaimana dampaknya jika argumentasi Joko Santoso menguatkan kubu Prabowo-Sandi untuk berniat mundur? Mungkinkah Prabowo-Sandi mundur dari pertarungan ini? Sedangkan kita tahu biaya yang sudah dikeluarkan sepanjang tahapan pilpres ini berlangsung oleh kubu ini sudah begitu banyak. Atau pernyataan Joko Santoso hanya gertak saja dalam rangka menarik perhatian publik?
Berbagai dugaan memang bisa bermunculan dari kalangan masyarakat. Kalau orang-orang politik mungkin saja melihat ini sebagai pancingan politik untuk melihat respon pasar. Dan sudah biasa pula jika pernyataan politik bagi para aktor politik dimaksudkan sebagai bumbu-bumbu untuk menciptakan satu cita rasa politik tertentu. Dimensinya adalah politik.
Sehingga sangat mungkin bumbu-bumbu politik Joko Santoso untuk membikin rasa politik Prabowo Subianto yang tidak mau dicurangi lagi. Dengan begitu, mundurnya kubu Prabowo-Sandi sebagai bentuk sikap anti praktik curang pada pilpres 2019 yang akan segera berlangsung. Akan tetapi semua ini masih sebatas wacana atau retorika belaka.
Namun sekiranya hal itu benar-benar terjadi atau kubu Prabowo-Sandi pasti mundur, maka beberapa kemungkinan keadaan dapat terjadi. Diantaranya adalah terjadi chaos politik, dimana kepentingan politik negara akan terhambat dan tidak berkualitas dalam proses pemilihan presiden khususnya.