Politik kotor memang ada dimana-mana, seperti halnya politik baik-baik dan lurus ada ada dimana-mana. Politik kotor adalah bentuk politik yang mengabaikan nalar sehat dan tidak bermoral. Politik kotor bisa direpresentasikan oleh individu, partai politik, dan juga lembaga-lembaga politik yang lebih luas dan formal. Politik kotor umumnya dilakukan oleh aktor politik yang haus kekuasaan dan harga mati mempertahankan kekuasaan.
Di Indonesia fenomena politik kotor sering muncul dihadapan publik secara diam-diam bahkan vulgar. Ekspresi politik kotor berwujud dalam bentuk sogok-menyogok demi tujuan politik, korupsi, penyelewengan kekuasan, dan menggunakan power untuk memaksa pihak tertentu demi keuntungan politiknya, dan jika mereka menolak maka akan ada konsekuensi yang berlaku. Baik dipenjarakan dan dicari-cari kesalahannya atau diperlakukan secara tidak wajar. Itu semua kerab dilakukan oleh politisi kotor dengan politik kotornya.
Politisi kotor tidak identik dengan wajah sangar dan menakutkan. Mereka bisa tampil dengan wajah manis, lugu dan dandanan sederhana. Politisi kotor tidak harus berwujud kasar, seram, dan anker. Tetapi yang namanya politisi kotor dapat ditandai pada perilakunya. Pola pikirnya dan kebijakan yang diambil sering menakutkan rakyat, membuat mereka menderita, dan sering berbohong serta berdusta demi pencitraan.
Pencitraan yang dimaksud adalah upaya menutupi keburukan yang ada dengan menciptakan berbagai isu kepalsuan yang memutar balik fakta yang ada. Sering memuji diri sendiri dengan hal-hal yang sangat baik bisa juga sebagai bentuk pencitraan. Intinya pencitraan itu adalah tong kosong nyaring bunyinya. Mereka tidak malu-malu mengaku hasil karya orang lain sebagai prestasinya.
Pencitraan, prestasi, dan bohong tiga kata kunci yang saat ini menjadi kata-kata keramat sebagai bahasa kampanye para kontestan pilpres. Ketiga kata kunci tersebut sering disematkan pada pelbagai kalimat untuk memperdayakan rakyat. Atau untuk kalimat menyudutkan pihak lain. Kedua kubu yang sedang bertarung menjadikan ketiga kata kunci tersebut sebagai senjata ampuh.
Sehingga tidak heran jika kita sering mendapati ucapan para pendukung selalu dekat dengan kata-kata prestasi dan bohong. Termasuk dalam banyak tulisan artikel yang diproduksikan oleh tim pendukung dan partisan selalu mengolah kata prestasi dan bohong. Tujuannya adalah untuk menciptakan opini dan pencitraan. Syukur jika hal itu benar namun bagaimana jika hanya tuduhan palsu atau klaim palsu?
Nah bagaimana pula jika sebuah lembaga terhormat semisal perguruan tinggi yang sangat dihormati di negeri ini lalu mendeklarasikan dirinya menjadi ujung tombak dukungan politik bagi keterpilihan satu kubu? Bisakah digolongkan sebagai lembaga politik kotor? Jawabanya tentu saja tidak bisa. Karena perguruan tinggi bukanlah lembaga politik. Namun lembaga tersebut berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
Perguruan tinggi adalah tempat dimana pendidikan tinggi diselenggarakan. Pendidikan Tinggi memiliki beberapa fungsi, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 4 bahwa pendidikan tinggi memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu, Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, Mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif, dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.
Jadi jelaslah bahwa perguruan tinggi tidaklah ada tempat untuk permainan politik praktis, sekalipun rektornya memiliki pilihan tertentu pada pilpres 2019. Tidak boleh sivitas akademika menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan pencitraan tertentu terhadap paslon. Biarkan kedua kubu bersaing secara sehat dan politik bersih. Justru perguruan tinggi harus menjadi elemen yang mencerdaskan seluruh komponen bangsa dan para kontestan.
Apalagi Universitas Indonesia (UI) yang konon termasuk dalam 100 perguruan tinggi ternama di Asia. Dengan usianya yang sudah tua, mestinya UI dapat menjaga netralitasnya dalam soal dukung mendukung. Lagi pula belum tentu juga seluruh warga UI setuju dengan apa yang dilakukan oleh ikatan alumni UI. Artinya soal aspirasi politik serahkanlah pada setiap pribadi seluruh warga kampus.
Tidak elok rasanya jika nanti bakal muncul perguruan tinggi lain yang juga mendeklarasikan dukungannya kepada paslon tertentu yang berlawanan dengan UI. Lah mahasiwa justru menjadi terbelah termasuk dosen, karyawan dan lainnya. Jika sudah seperti itu maka dimana fungsi perguruan tinggi yang tadi tersebut dalam Undang-undang perguruan tinggi?