Sebelumnya saya mengucapkan selamat Hari Ibu terlebih dahulu kepada ibu-ibu Indonesia dan ibu-ibu seluruh dunia. Di hari istimewa ini, derajat perempuan yang terwakili pada predikat ibu semakin diangkat dan diakui. Dan dalam pembangunan SDGs pun perempuan menjadi stakeholder sangat penting.
Sehingga tanggal 22 Desember telah ditetapkan sebagai Mother's Day oleh dunia sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan bagi ibu. Dan hari ini kita merayakannya dengan merefleksikan kembali seluruh jasa ibu dalam melahirkan, membesarkan, dan hingga mengajarkan kita banyak hal dan dalam seluruh kehidupan kita.
Diakui atau tidak peran ibu sungguh sangat besar dalam banyak hal bagi seorang anak. Bukan hanya berperan secara biologis. Namun juga dalam hubungan sosiologis dan pendidikan. Ibu berperan besar dan penting dalam mendidik anak-anaknya. Mereka (ibu) merupakan sekolah pertama bagi seorang manusia. Dari ibulah ajaran pertama diperoleh seorang anak sebelum ia menjadi guru besar, presiden atau jenderal.
Dalam banyak artikel dan hasil penelitian, ditemukan bahwa posisi ibu menempati peringkat utama dalam peradaban kehidupan manusia. Baik ditinjau dari sudut pandang pengasuhan, keluarga, maupun agama. Dalam Islam dinyatakan bahwa "surga itu terletak di bawah kaki ibu". Atau kata bijak lainnya "ridha Allah ada pada keridhaan kedua orang tua kita". Ini bukti pengakuan Tuhan terhadap posisi terhormat seorang ibu.
Oleh karena itu tidak sepantasnya kemudian kita tidak menghargai dan menghormati ibu. Dengan kata lain kita mesti menghargai dan menghormati perempuan (ibu). Tentu saja hal itu berangkat dari bagaimana seorang perempuan mampu menghargai dirinya terlebih dahulu sebelum dihargai oleh orang lain.
Cara yang paling umum dan sederhana agar perempuan dihargai oleh siapapun adalah salah satunya dengan menjaga diri dari hal-hal buruk. Karena pada posisi dasarnya perempuan merupakan makhluk mulia dimuka bumi, maka mustahil jika tidak dihormati dan hargai. Kecuali ia melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Misalnya melakukan korupsi.
Bicara tentang perempuan dan korupsi, pemberitaan media massa dalam setahun terakhir kuyup dengan deretan tersangka korupsi berjenis kelamin perempuan. Mereka dikenal sebagai sosialita, figur publik, politisi, pengusaha, artis, dan pemegang jabatan terhormat di institusi pengambilan keputusan negeri ini baik di pemerintahan maupun BUMN.
Berdasarkan laporan majalah Integrito, majalah yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi, tercatat 46 perempuan yang terjerat kasus korupsi sejak 2006 hingga 2016. Itu baru sampai tahun 2016, belum masuk kompilasi tahun 2017 dan 2018. Bahkan cicilan data 2018 memperlihatkan, KPK telah menangkap 6 pejabat negara ini dari kalangan perempuan.
Maksud dari tulisan ini memang bukan untuk mempertentangkan jender dalam kasus korupsi. Hukum asalnya adalah siapapun berpotensi melakukan korupsi tanpa memandang pada jender. Namun dalam artikel sederhana ini saya ingin menunjukkan beberapa argumentasi yang telah dibangun sebelumnya tentang konsep kesetaraan jender dan dikaitkan dengan korupsi.
Sebagaimana kita tahu bahwa pemikiran soal jender telah diadopsi oleh konstitusi Indonesia. Salah satu konsep pembangunan berbasis kesetaraan jender adalah dibukanya peluang yang sama besar dengan laki-laki dalam kesempatan berpolitik. Sehingga kebijakan ini turun dalam bentuk keterwakilan perempuan sebanyak paling kurang 30 persen di parlemen (lembaga DPR) baik pusat hingga ke daerah.
Argumentasi ilmiah yang kerab menjadi dasar pemikiran para pengambil keputusan di negeri ini untuk membuka ruang publik bagi perempuan dalam konteks anti korupsi yaitu studi yang dilakukan oleh Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associats (2007) yang menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.