Dinamika ekonomi global terus bergerak ke arah perubahan lingkungan baru. Isu revolusi industri mulai dijalankan oleh negara-negara di dunia sejak 2013, telah menciptakan ketidakstabilan perekonomian dunia. Ditambah lagi perang dagang AS-China memberi dampak yang luas terhadap perdagangan internasional dan pasar modal serta keuangan.
Situasi ini mengandung resiko bagi industri nasional. Investor merasa kuatir atas bisnis mereka dengan pasar yang semakin menurun. Tekanan kebijakan tarif impor AS ikut memukul produktivitas industri nasional. Meskipun nilai ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ke negara Tiongkok.
Presiden Joko Widodo mengatakan dihadapan sejumlah pemimpin dan CEO perusahaan pada Kompas100 CEO Forum di Balai Sidang Jakarta, Selasa (27/11/2018), kondisi ekonomi dunia sangat berpotensi dilanda ketidakpastian. Namun, kita harus optimistis selalu ada peluang. Tinggal kita bisa mengambil peluang itu atau tidak.
Jokowi berkata benar, bahwa ekonomi dunia saat ini sulit diprediksi. Faktor internal setiap negara mengalami berbagai hambatan yang mengharuskan mereka mengambil sebuah kebijakan yang tidak biasa demi melindungi kepentingan nasionalnya. Bahkan negara-negara yang mulai mengalami kelesuan ekonomi (tumbuh negatif), bekerja agresif untuk melakukan recovery ekonomi.
Sebagai contoh, Negara Brunei Darussalam yang dikenal makmur dengan pendapatan negara tertinggi di kawasan Asia Tenggara dari sektor perminyakan mulai merasakan dampak negatif dari ketidakpastian ekonomi global saat ini. Sehingga menuntut negara tersebut untuk mengatasi ancaman buruk bagi ekonomi nasional Brunai Darussalam dengan berbagai kebijakan.
Jokowi memberikan pandangan bahwa pelaku ekonomi nasional tetap harus optimistis bahwa peluang selalu ada meskipun dalam ekonomi yang bergejolak sekalipun. Industri nasional bisa mengisi kekosongan pasar akibat perang dagang AS-China. Di antara peluang yang mulai terbuka lebar adalah investasi luar negeri yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun Indonesia terlebih dahulu harus menata kembali berbagai prosedur agar iklim investasi dapat menunjang perekonomian nasional. Disisi lain jangan sampai investasi yang masuk justru memukul pelaku ekonomi nasional dan industri dalam negeri.
Selain mempermudah perizinan investasi dengan prosedur yang lebih sederhana. Pemerintah juga perlu meningkatkan daya saing industri nasional. Memasuki era baru revolusi industri, Indonesia harus memetakan kembali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Pemerintah harus merespon dengan perubahan lingkungan global dengan cara pandang baru berdasarkan kepentingan nasionalnya.
Kesiapan Indonesia menjadi bagian dari pelaku revolusi industri generasi keempat juga mesti segera dituangkan dalam sebuah cetak biru yang realistis. Negara yang bergerak cepat akan mengalahkan negara yang lambat, kata Presiden Jokowi.
Master desain ekonomi dan industri nasional dengan basis 4.0 harus segera disepakati dengan seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya pemerintah (eksekutif) namun juga legeslatif ikut dilibatkan dalam penyusunan acuan rencana kerja jangka panjang. Setelah itu lalu menggerakkan masyarakat dan pelaku ekonomi untuk sama-sama menghadapi persaingan dengan negara-negara lain.
Kedepan, seperti banyak pendapat para pengamat ekonomi mengatakan, daya saing dalam industri bukan lagi faktor sumber daya manusia. Justru sumber daya manusia hanya akan menjadi faktor pendukung atas operasional perusahaan. Era revolusi industri 4.0 bersaing dalam teknologi kecerdasan buatan. Filosofi revolusi industri keempat tetap akan mengandalkan kehebatan mesin (robotic) daripada tenaga manusia.