Beberapa pengamat dari berbagai macam latar belakang profesi menilai bahwa dalam akhir-akhir ini gaya komunikasi politik petahana yang juga Presiden Republik Indonesia sangat berbeda.
Menurut Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan memang ada perubahan gaya politik dari Jokowi. Bila selama ini ia dikenal dengan gaya politik simbolik kini berpindah ke model politik retorika.
Perubahan gaya komunikasi politik calon presiden nomor urut 01 menurut Siti Zuhro tidak terlepas dari serangan dari kubu penantang, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Salah satu amunisi yang digunakan oleh kubu Prabowo adalah isu perekonomian.
Dalam banyak kesempatan, Prabowo-Sandi selalu memberikan pernyataan mereka tentang perekonomian nasional yang tak kunjung membaik. Bahkan awak media pun sering mengutip kalimat Prabowo-Sandi dengan menuliskan Indonesia telah gagal membangun ekonomi bagi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pernyataan kubu Prabowo seperti itu tentu saja menciptakan perlawanan dari kubu petahana. Jokowi-Ma'ruf merasa dirinya telah diserang dengan isu yang tidak tepat. Dan Jokowi juga melalui Menteri Keuangan mengklaim justru Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup baik dibandingkan negara-negara lain di tengah ketidakpastian global.
Karena itu oleh Jokowi menganggap apa yang dikatakan oleh Prabowo-Sandi adalah bentuk politik yang menakuti-nakuti rakyat. Seolah-olah ekonomi Indonesia sedang hancur berantakan selama negara ini dipimpin oleh dirinya. Inilah dasar mengapa Jokowi menyindir dengan politik genderuwo.
Dalam pemahaman banyak orang, politik genderuwo itu identik dengan sosok politisi "setan" yang menakutkan. Cerita tentang makhluk yang tidak diketahui asal-usul tersebut digambarkan sebagai makhluk yang mengerikan, wajahnya buruk, dan perilakunya seperti iblis.
Namun apakah Jokowi bermaksud untuk mengatakan hal itu untuk Prabowo-Sandi? Bahwa kubu Prabowo sebagai gerombolan genderuwo? Benarkah seperti itu maksud Jokowi?
Atau jangan-jangan ada pihak lain yang sedang disindir, bisa jadi sosok itu ada ada dalam tim Jokowi sendiri? Tidak ada yang tahu, dan Jokowi pun tidak secara tegas siapa genderuwo yang dia maksudkan.
Dengan begitu, maka alangkah lebih baik kalau kita berprasangka baik saja, bahwa apa yang dikatakan oleh Jokowi sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia untuk membaca cerita tentang sejarah genderuwo lebih banyak lagi. Sebagai sebuah cerita rakyat, selayaknya kita melestarikan. Sehingga politik genderuwo bisa dimaknai sebagai politik rakyat dengan cerita-cerita dongeng.
Jadi kita perlu memosisikan diri pada cara berpikir positif dalam menanggapi retorika politik Jokowi. Cara berpikir positif bisa seperti yang dicontohkan oleh Sandiaga Uno. Calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno meminta pemerintah mewaspadai para "genderuwo" ekonomi, mulai dari ekonomi rente hingga pangan.
"Saya tidak ingin berkomentar yang negatif, tetapi mungkin yang dimaksud Pak Presiden itu politisi atau politik genderuwo itu yang berkaitan dengan ekonomi rente, mafia ekonomi, mafia pangan, atau mafia lainnya sebagai genderuwonya ekonomi," kata Sandiaga dalam keterangan tertulis, Jumat. (KOMPAS.com, 11/11/2018).
genderuwo ekonomi menjadi sebuah narasi yang mendeskripsikan telah terjadi kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh para mafia yang merugikan rakyat Indonesia, dan menurut Sandi mafia perekonomian belum mampu diatasi oleh pemerintah Jokowi. Lalu Sandi pun menunjukkan bukti bahwa genderuwo ekonomi lebih menakutkan daripada politik Genderuwo seperti yang dimaksudkan oleh petahana.
Dampak dari ekonomi genderuwo versi Sandi yaitu kekayaan negara ini hanya dikuasai oleh negara asing memiliki modal besar dan teknologi, sehingga alam Indonesia habis dikeruk oleh perusahaan-perusahaan negara asing tersebut. Ciri lainnya menurut dia yaitu sulitnya mendapatkan lapangan kerja bagi rakyat, harga-harga pada mahal, dan gonjang-ganjing impor.
Sebab itulah kata Sandi, genderuwo ekonomi harus lebih diwaspadai, dan ia sangat sependapat dengan Jokowi untuk menghalau genderuwo agar tidak sampai lebih jauh menguasai Indonesia. Sehingga cita-cita proklamasi untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi segenap rakyat Indonesia tidak dapat diwujudkan.
Terlepas dari polemik dan perang retorika politik yang sedang dimainkan oleh para capres dan cawapres untuk mendapatkan perhatian rakyat agar terpilih pada pilpres 2019 nanti. Hendaknya antarkubu dapat menggunakan ungkapan-ungkapan yang memberikan ketauladan terhadap rakyat.
Pakailah istilah-istilah yang baik, santun, dan benar-benar menampilkan politik beretika. Hal itu jauh lebih baik daripada hanya adu mulut tak berkelas.
Marilah kedua kubu bicara program, visi Indonesia ke depan. Ajaklah masyarakat untuk berpikir substantif agar akar persoalan bangsa ini dapat dipecahkan.
Tidak salah jika ada pihak yang mengatakan bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia sangat tinggi atau masih melebar. Baik ketimpangan pembangunan fisik, ketimpangan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan sebagainya. Karena memang itu benar adanya.
Oleh karena itu, maka pihak petahana atau siapapun yang saat ini sedang berkuasa harus menerima hal itu sebagai masukan. Yang diharapkan adalah adanya perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Sehingga pemerataan dapat diciptakan. Jadi bukan sebaliknya, justru direspon sebagai sebuah hoaks, atau indikasi menjelek-jelekkan pemerintah.
Cobalah kita berpikir lebih jernih dan lihat kenyataan, apa yang sedang dirasakan oleh rakyat banyak di daerah-daerah. Hampir rata-rata masyarakat mengeluh karena soal kesejahteraan.
Meskipun begitu, kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah atas segala prestasi yang telah dicapai. Misalnya keberhasilan kontingen Indonesia mencapai posisi lima (5) besar pada event Asian Games, Asian Para Games, dan keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi IMF beberapa waktu lalu.
Kita patut juga memberikan penghargaan yang tinggi kepada Jokowi karena keberhasilannya membangun tol laut, tol darat, dan sejumlah program lainnya. Nah hal-hal seperti itu bisa menjadi bahan kempanye kepada masyarakat. Biarlah kemudian rakyat sendiri yang menilai, siapa yang lebih pantas menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.
Salam***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H