Bukan manusia namanya jika tidak memiliki nafsu. Karena hanya malaikat saja yang tidak memiliki hal itu. Nafsu dapat dikatakan sebagai dorongan syahwat yang ada dalam diri manusia. Nafsu juga terdiri dari beberapa jenis atau masih terbagi kepada beberapa bagian. Kalau dilihat lebih jauh, nafsu dapat dikelompokkan pada dua, yakni nafsu baik dan nafsu jahat.
Namun pada asalnya, nafsu itu tidak baik. Dalam riwayatnya dikisahkan, pada saat pertama kali ketika pencipataan nafsu, ia enggan mengaku dirinya sebagai ciptaan Tuhan. Ia memiliki sifat sombong terhadap dirinya sendiri. Artinya ia tidak mau tunduk pada siapapun tak terkecuali kepada tuannya. Siapa tuannya? Itulah manusia yang diamanahkan untuk mendidik nafsu tersebut.
Kalau begitu apakah nafsu harus dicabut dari manusia? Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, sebab itu sudah menjadi kodrat atau sunnatullah. Justru disisi lain, nafsu merupakan sebuah potensi. Yang namanya potensi berarti sesuatu yang mungkin akan memberikan keuntungan. Boleh jadi menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat.
Maka, ketika sampai pada titik ini. Yang harus dilakukan oleh setiap kita sebagai manusia adalah mendidik nafsu yang tadinya tidak baik menjadi nafsu yang baik. Bagaimana mengukurnya? Mana kala dorongan manusia untuk lebih kuat melakukan hal-hal baik dalam kehidupannya. Maka disitulah kita ketahui bahwa orang tersebut berhasil mendidik nafsunya.
Dalam istilah umum, pendidikan hawa nafsu sering disebut dengan 'nafs tazkiyah'. Proses ini dimulai dengan upaya pengendalian diri hari hal-hal yang merugikan, maksiat, perbuatan-perbuatan terlarang, dan lain sebagainya oleh orang yang bersangkutan. Setelah itu baru kemudian sang tuan dapat menguasai nafsunya sendiri untuk diarahkan pada kebaikan, ketaqwaan, dan jalan yang benar.
Sebaliknya, mereka yang gagal mendidik dan menguasai nafsunya sendiri. Ia akan menjadi tawanan dan budak sang nafsu. Yang seharusnya manusia itu menjadi tuan bagi nafsunya namun justru mereka menjadi budak nafsu mereka sendiri. Akibatnya manusia digunakan oleh nafsu untuk melakukan apa saja yang diinginkan oleh tuannya.
Pada titik ini, maka kehidupan manusia menjadi menyimpang dari desain awal kehidupan manusia berdasarkan konsep ilahiyah. Ia hanya akan melakukan perbuatan-perbuatan manifestasi memperturutkan hawa nafsu saja. Ia menjadi lupa siapa penciptanya, sebagaimana kisah pertama nafsu itu diciptakan. Inilah yang terjadi, awal kehancuran kehidupan seseorang ketika ia lupa pada sang Khalik, Tuhan semesta alam.
Ketiadaan cahaya Tuhan dalam hati dan jiwanya, membuat manusia seperti hidup di dalam kegelapan. Tidak terlihat lagi mana yang benar, mana yang salah, karena semua gelap gulita, kelam tanpa pelita. Dalam kehidupan nyata, mereka menjadi apa saja. Wujudnya boleh berbeda namun perbuatannya relatif sama.
Konkritnya, manusia yang gagal mendidik hawa nafsunya, maka ketika ia bekerja sebagai guru, ia menjadi guru yang mengajar tanpa hati, tanpa cinta. Ia hanya bekerja layaknya pekerja yang mengharapkan uang dan materi. Kalau ia pada posisi sebagai pedagang, lalu praktik dagangnya penuh kecurangan, culas dan tanpa memiliki rasa belas.
Namun seperti apa, jika ia memiliki kekuasaan?
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan baik kepada manusia maupun kepada Allah. Terkait dengan nafsu kekuasaan, ada sebuah nasehat bagus yang perlu kita cermati.Â