Bahkan para pebisnis menggunakan media untuk memajukan usaha-usaha mereka dengan fasilitasi advertorial, maupun kegiatan-kegiatan kehumasan atau public relation. Sehingga peran media menjadi sangat penting.
Dalam kehidupan politik media juga menjadi salah satu kunci untuk meraih posisi kekuasaan. Dan di banyak negara para politisi selalu memanfaatkan media sebagai corong politik mereka. Hingga tak jarang kita temui para politisi tersebut juga sekaligus pemilik media.
Di Indonesia bisa dilihat beberapa media dimiliki oleh politisi. Posisi mereka tergolong tinggi baik di struktur partai maupun dalam menajemen perusahaan media yang ia pegang.
Akibatnya fungsi media menjadi berubah. Yang seharusnya adalah sebagai alat penyiaran publik dan menyampaikan informasi bagi masyarakat. Namun menjadi alat yang bersifat eksklusif dan menyuarakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Media menjadi tidak lagi berimbang dalam pemberitaan. Bahkan sebaliknya, telah menjadi alat propaganda untuk memukul lawan politiknya.
Stepi Anriani, dosen  STIN dan pengamat Kamnas mengatakan bahwa media pers termasuk televisi dalam dinamika pilpres 2019 di Indonesia pada posisi memihak. Netralitas media sangat dipertanyakan. Menurut Stepi, fenomena itu lahir dan tercipta karena mereka pemilik media dan sekaligus juga aktor politik. Disisi lain, mereka memadukan kepentingan politik dan bisnis.
Apa yang dikatakan oleh Stepi Anriani memang tidak salah. Kita bisa lihat sendiri secara faktual. Beberapa stasuin televisi swasta tanah air dalam siaran dan kontennya sarat kepentingan pemilik dan politisi yang mereka dukung. Ini bukti bahwa media kita tidak lagi netral.
Tidak lagi kritis
Karena media sangat memihak secara subjektif, maka membuat ia tidak lagi memiliki daya kritis. Media cenderung tidak objektif dalam pemberitaan maupun sudut pandang. Media hanya akan mengangkat isu-isu yang menguntungkan kelompok mereka saja dan menutup diri jika hal itu merugikan.
Termasuk di dalamnya kebebasan pers mulai tercabut dengan sendirinya. Publik tidak lagi memiliki ruang untuk menyampaikan pikiran kritis mereka melalui media besar milik politisi. Karena jika masyarakat bersuara tidak sejalan dengan kemauan pihak berkepentingan maka itu bisa menjadi masalah bagi nara sumber.
Jika kebebasan pers dan daya kritis media sudah hilang, justru yang terjadi kemudian adalah terjadinya pembodohan publik secara massal. Media berubah bukan lagi menjadi alat pencerahan bagi publik. Namun pencipta hoaks dan berita sesat dan menyesatkan.
Semoga di negara ini, media tidak dijadikan sebagai alat untuk membungkam pola pikir kritis masyarakat. Juga tidak melulu menyajikan pesan-pesan pencitraan tanpa makna subtansial. Marilah kita belajar dari negara-negara maju lainnya yang menempatkan media sebagai alat strategis nasional yang berperan secara lebih luas untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok yang haus kekuasaan.