Menarik mengamati perubahan perilaku pekerja di Jepang yang kini mereka mulai berpikir bahwa uang bukanlah segalanya dalam bekerja.
Para pekerja di negara industri tersebut justeru mereka memandang kualitas hidup menjadi lebih utama.
Angkatan kerja di Jepang kini memiliki harapan tentang dunia kerja yang berbeda. Mereka menginginkan Hidup yang lebih berkualitas (quality time).
Pekerja di Jepang mengatakan mereka tidak ingin mengalami nasib seperti orang tua atau kakek nenelnya yang harus membanting tulang dari pagi sampai malam agar bisa hidup layak.
Sebagaimana disiarkan Harian Kompas Kamis, 2 Agustus 2018, Misaki Harada (24) mengatakan "Jika Anda bertanya apakah saya lebih memilih uang yang lebih besar atau jam kerja yang lebih fleksibel? Saya akan memilih jam kerja yang fleksibel. Saya ingin menikah, ingin punya keluarga, dan saya ingin bisa membagi waktu antara mengasuh anak dan bekerja. "
Fenomena ini barangkali masih baru di Jepang, karena selama ini para pekerja di negara tersebut menganut sistim kerja loyalitas berbeda, atau apa yang mereka sebut dengan "pengabdian penuh" kepada perusahaan atau majikan.
Budaya baru dalam dunia kerja seperti fenomena telah disebut tadi tergolong peradaban baru dalam hal Human Resources Development (HRD). Hal ini bisa dikatakan sebagai inovasi baru dalam pengembangan sumber daya manusia.
Kini perusahaan-perusahaan besar di Jepang menawarkan jam kerja yang lebih fleksibel bagi karyawan mereka, menyediakan tempat penitipan anak dan asisten rumah tangga, telah menjadi perioritas, disamping gaji yang cukup.
Para manajer maupun praktisi SDM menyimpulkan bahwa di Jepang kini uang bukanlah segalanya bagi para pencari kerja. Sehingga strategi menaikkan gaji bagi karyawan yang mau keluar atau pindah menjadi tidak relevan lagi.
Sekarang bukan lagi soal uang. Para pekerja di Jepang menuntut lingkungan kerja positif, dengan jam kerja yang fleksibel dan dapat memanusiakan manusia.
Bagaimana dengan Indonesia?