Tepatnya tanggal 4 Desember 1976 di pedalaman Aceh, sekitar Gunung Halimun atau bukit Cokan Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie, pemimpin tinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Tgk Hasan Di Tiro memproklamirkan diri sebagai sebuah gerakan memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari penjajahan Indonesia.Â
Pada fase awal gerakan bawah tanah ini hanya memiliki beberapa anggota sebagai pengikut Tgk Hasan Di Tiro, kelompok pertama atau perintis kelompok GAM didominasi oleh para intelektual Aceh dan kaum kelas ekonomi menengah atas yang kecewa terhadap model pembangunan Aceh dan janji pemerintah Indonesia yang tak kunjung ditepati. Â
Setelah proklamasi kemerdekaan Aceh versi GAM diikrarkan pada 4 Desember 1976 tersebut dilakukan, kemudian naskah teksnya dikirimkan ke dunia internasional dalam empat bahasa, diantaranya adalah dalam bahasa inggris.Â
Sejak saat itu konflik atau pemberontakan di Aceh pun terjadi. Kelompok separatis yang bertujuan membebaskan Aceh dari belenggu penjajahan pemerintah Indonesia mulai melancarkan aksinya. Kelompok ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) yang memiliki pemerintahan dan militer.Â
Dibawah komando Panglima GAM, serdadu separatis tersebut mengangkat senjata dan menyusun taktik perang dengan militer pemerintah Indonesia. Menyerang pos-pos Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengaj target mematikan dan merampas senjata.Â
Selain menyasar militer, kelompok GAM juga melakukan serangan terhadap proyek vital/industri minyak dan gas yang ada di Aceh Utara, Exon Mobil dan PT Arun menjadi target yang harus dilumpuhkan saat itu, alasan penyerangan perusahaan raksasa ini diduga karena mereka menyedot kekayaan Aceh, selain itu upaya untuk mendapatkan perhatian dunia internasional.Â
Kekacauan Aceh sudah memasuki tahap panetrasi, masyarakat pun sudah mulai terpengaruh dengan ideologi kemerdekaan Aceh yang ditawarkan oleh kelompok GAM, akibatnya banyak masyarakat yang bergabung terutama yang muda-muda dalam perjuangan "suci" versi Tgk Hasan Tiro.Â
Mereka yang telah direkrut kemudian diberikan pelatihan militer hingga ke luar negeri dan dilengkapi dengan senjata serbu untuk memperkuat pasukan tentara Aceh di bawah komando Panglima GAM Tgk Abdullah Syafei.Â
Namun keleluasaan kelompok GAM ini melakukan berbagai kekacauan mulai diketahui oleh militer pemerintah Indonesia yang masa itu dibawah pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto.
Merespon situasi tersebut, pemerintah Indonesia pun menetapkan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sebagai tindakan represif yang dilancarkan oleh TNI untuk membasmi gerakan pengacau keamanan (GPK), begitu sebutan bagi GAM oleh TNI.Â
Pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer berlangsung antara tahun 1989-1998. Langkah ini secara taktik sukses menghancurkan kekuatan gerilyawan GAM melalui operasi kontra pemberontakan di Aceh. Namun hal ini telah menyebabkan banyaknya jatuh korban sipil dikalangan masyarakat Aceh yang justru semakin mendapatkan dukungan bagi kelompok GAM.Â