Bahasa menghasilkan perintah, teknologi mempermudahnya. Kita menyebut teknologi untuk menguasai dan mempercepat apa yang dikehendaki. Teknologi memberi keyakinan bahwa dengannya pekerjaan akan menjadi lebih ringan. Ketidakpuasan menjadikan teknologi akan selalu berkembang. Distingsi melebarkan jalan perkembangan itu.
Teknologi semakin berkembang. Beberapa dekade terakhir dunia semakin semangat mengemas berbagai hal dengan bantuan teknologi yang lahir dari rahim populisme. Terakhir, beragam piranti dengan cepat di uji coba. Misalnya, secepat kilat akal manusia berusaha menciptakan perlengkapan bermesin pintar sebagai usaha untuk mengatasi pandemi. Sekali lagi teknologi berperan, bukan sekedar melahirkan wacana akan bencana dan musibah. Teknologi berusaha menjadi solusi. Otak manusia aktor di dalamnya.
Kita terjebak dalam tubuh teknologi. Bayangkan, banyak hal yang harus dimaklumi karenanya. Bukan hanya yang telah terjadi, pun yang bakal diperkirakan terjadi. Alat pendeteksi suhu misalnya. Pada ekses lebih lanjut ada sensor jarak jauh untuk mengenali suhu tubuh manusia. Kita diyakinkan bahwa terhadap suhu tertentu tubuh kita bisa diindikasi awal terjangkit virus. Â Langkah mitigasi selanjutnya, alat pendeteksi keberadaan untuk melacak persebaran kita.
Contoh lain, dengan teknologi kita bisa menyibukkan diri kita untuk menekan gambar barang yang kita suka pada tampilan 'toko online' dan memesannya secara daring. Beberapa yang dibeli tidak lagi berdasar pada apa yang dibutuhkan. Perannya memberikan negasi pada keberadaan kita yang membuat manusia akhirnya seperti kotak kosong yang harus selalu diisi, namun tak pernah penuh karena ternyata berlubang.
Jika kita meliihat kebelakang pada abad pertengahan, teknologi masih sederhana. Persebaran penggunanya pun sangat mudah dikenali. Orang tua kelas bawah abad pertengahan sudah membiasakan anak mereka berkebun dan bertani dengan alat sederhana (berdasar cara pandang masa kini). Pada kelas menengah dan kelas atas di Spanyol anak di ajarkan untuk membaca buku kekaisaran atau teologi yang dicetak secara lokal.Â
Tetap pada basis logika yang sama, pikiran di kunci pada batasan ide bahwa seseorang hanya perlu mengetahui yang diibutuhkan. Bedanya, pada masa kini kita terjebak dalam tubuh teknologi. Nilai lebihnya bahwa kita tidak lagi dibatasi oleh apa yang kita butuhkan tapi apa yang kita inginkan. Terserah jika akhirnya kita ingin menyebutnya baik atau buruk.
Kehati-hatian menjadi jalan untuk memastikan bahwa terjebak dalam rahim teknologi harus berakhir baik. Sehingga yang kemudian lahir adalah rasa percaya diri. Bukan sekedar anjuran untuk berimajinasi. Dunia terlalu luas untuk dimaklumi tanpa di teliti. Tanpa teknologi, bukan tidak mungkin dunia hanya dipenuhi  demagogi. Penggunaan teknologi yang tidak hati-hati akan menjebak diri sendiri. Ada benarnya seorang yang pernah berkata, "manusia selalu lebih baik menciptakan alat daripada menggunakannya dengan bijak".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI