Apakah kita tidak merasa kalau kita telah menganiaya Tuhan? membuatNya kebingungan mengatur dunia yang fana ini. Bukan karena lingkungan alamnya, tetapi oleh karena gambar dan rupanya yang adalah manusia telah mencoreng wajah Tuhan.
Ungkapan itu terasa satir. Bahkan dalam hal ini, penujuan kepada sosok yang bernama Tuhan tampak begitu menyinggung perasaan kaum yang mengaku agamis. Mereka yang mengaku selama ini adalah anak Abraham-manusia kepercayaan Tuhan, merasa sangat geram melihat maksud ini. apa maksudnya dengan membawa nama Tuhan, entah Tuhannya agama siapapun dengan semena-mena. itu adalah penghujatan.
Tapi dalam praktik, yang dimaksud penganiaya Tuhan adalah kita sendiri. Bahkan orang yang mengaku cinta Tuhan, harus membuat Tuhan malu (meminjam persona manusia) karena perbuatan yang sama sekali tidak mencerminkan kasih kepadaNya, seperti yang banyak di tulis dalam teks asli kitab suci.
Konflik dengan selimut agama adalah sebabnya. Peperangan agama ada bukan untuk menunjukkan bahwa Tuhan harus di bela. Tuhan sesungguhnya dapat membela diriNya sendiri tanpa harus meminta manusia yang melakukan. Dalam beberapa hal, antar manusia terjadi pula kontravensi, menyembunyikan sinisme dalam balutan toleransi palsu yang satu waktu kemudian dapat dan pasti meluap oleh karena percikan api kecil. Konflik kembali terjadi oleh satu alasan parsial; kami membela Tuhan, kami membela agama kami.
Secara jelas, sekali lagi, Tuhan tidak perlu dibela. Prilaku ‘membela Tuhan’ hanya membuat pengakuan bahwa manusia itu lemah. Dan produk dari pembelaan berupa peperangan adalah cara paling baik untuk melego kemahakuasaanNya hingga akhirnya dapat dijadikan alasan kelompok manusia lain bahwa Tuhan itu lemah. Tidak, Tuhan tidak lemah. Itu sebab Tuhan tak perlu dibela. Alhasil konflik tak perlu ada. Tuhan tak perlu disanjung dengan prilaku toleransi palsu dibalut kebencian antar umat.
Konflik atas dasar agama yang sempat terjadi di berbagai daerah, khususnya di Indonesia belakangan ini, tak seharusnya terulang kembali. Ini hanya membuat manusia menjadi robot dengan berbagai pertunjukan kebodohan yang ditonton oleh manusia di belahan lainnya, dan satu waktu juga menimpa manusia di belahan lain tersebut. Begitu terus, berulang, hingga manusia saling tak sadar akan kebodohan itu. Tak sadar sejauh ia tak memahami maksud asali dari tuntutan agamanya.
Tuhan teraniaya ketika rupanya ditikam oleh ciptaanNya. Dan benar adanya, logika ini sangat sulit dicerna, ketika manusia harus saling mengumpat hingga membunuh hanya untuk satu tujuan tak masuk akal. Di cipta untuk membunuh ciptaan Tuhan. Ya memang itulah tagline yang cocok dari kekerasan berselimut agama.
Kita akan terus menganiaya Tuhan, kalau kita tak mampu mengenali diri kita dan membatasi obsesi pribadi kita. Kita akan terus menganiaya Tuhan kalau kita kurang mengenal pribadiNya lewat tujuan hakiki kitab suci. Dan kita akan terus menganiaya Tuhan kalau kita berkutat pada penafsiran liar akan kitab Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H