Mohon tunggu...
Candra Syahrefa
Candra Syahrefa Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Saya gemar menulis cerita dengan bentuk imajinatif namun terinspirasi dari event nyata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Pelindung

20 Mei 2024   20:27 Diperbarui: 20 Mei 2024   20:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di sebuah desa terpencil, terlihat seorang pria tengah termenung menatap indahnya bulan di pinggiran danau. Ia terus menatap bulan sambil berpikir, "Sebenarnya, apa yang terjadi?" Sesekali ia meraba lengannya karena terdapat sesuatu yang janggal yang tidak ia ketahui sebelumnya. "Sudah hampir setahun tanda ini membekas di lenganku, tapi tak pernah kudapatkan jawabannya. Tidak bisa dihilangkan pula, sebenarnya tanda apa ini!" ucapnya kesal. Di tengah kebingungannya, seorang pria tinggi nan tampan dengan pakaian serba putih menghampirinya dari arah utara. "Kau harus segera mengetahui kebenarannya, Tara. Pilihan ada di tanganmu, berpikirlah sebijaksana mungkin," ucapnya. Sebelum sempat membalas sepatah kata pun, pria itu menghilang dari hadapan Tara. "Setidaknya beri aku petunjuk, dasar bodoh!" ujarnya dengan penuh amarah. Setelah merasa buntu dan tidak mendapatkan petunjuk apa pun, Tara kembali pulang ke rumahnya dengan penuh rasa penasaran, bertanya-tanya sebenarnya apa yang harus ia cari tahu tentang yang sebenarnya terjadi.

Di perjalanan pulang, ia tidak melewati jalan yang biasanya ia tempuh, namun ia memutuskan untuk melewati jalan yang pernah ia lewati dulu semasa ia kecil. "Kangen rasanya, sudah lama aku tidak pernah melewati jalan itu. Ya, walaupun jauh, tanamanku sudah tumbuh belum ya? Hahaha," ucapnya. Semua memori kenangan masa kecilnya serasa terputar di matanya selama ia melewati jalan tersebut. Namun, di tengah perjalanan, ia teringat dengan pohon yang pernah ia tanam dulu bersama temannya. "Bagaimana kabar pohonku ya? Aku ingin melihatnya!" Sesampainya di tempat di mana ia menanam pohonnya, ia terkejut melihat sebuah kuil terbengkalai asing yang baru pertama kali ia lihat. "Sejak kapan dibangun kuil di sini? Lalu, di mana pohonku?" ujarnya penuh tanda tanya. Karena penuh rasa penasaran, ia memutuskan untuk menjelajahi kuil yang tidak begitu luas itu. Ruangan demi ruangan, pintu demi pintu ia masuki satu per satu sampai ketika ia menemukan suatu batu berbentuk sama persis dengan tanda yang membekas di lengannya. Tara sangat terkejut, tidak percaya dengan apa yang dia saksikan di depan matanya. "Apa ini? Aku benar-benar tidak mengerti." Ia terus menatap batu itu seakan batu itu menarik pikirannya. Tara merasa telah mendapatkan petunjuk besar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya perlu menemukan sedikit sisa kepingan puzzle untuk mengetahui kebenarannya. Ia terus menelusuri lebih dalam kuil tersebut berharap dirinya menemukan petunjuk yang tersisa, sampai pada akhirnya ia menemukan tembok batu penuh gambar dan ukiran yang menceritakan sebuah kejadian.

"Dahulu kala, masa di mana desa itu tengah berada di masa kejayaannya, sekelompok naga menyerang desa dan hampir menjadikan desa menjadi lautan api. Seluruh warga desa panik dan prajurit perang desa mati-matian melawan naga-naga itu. Namun, semua usaha yang mereka lakukan sia-sia, selisih kekuatan mereka sangatlah jauh. 'Mengapa naga-naga sialan ini berani menyerang desa kami?!' ujar salah satu warga penuh amarah. 'Apakah karena kepala desa sedang tidak ada?! Licik sekali,' saut salah satu warga. Beruntungnya di tengah kericuhan itu masih berlangsung, sang kepala desa baru saja sampai di desanya dan alangkah terkejutnya ia melihat desanya diluluh lantahkan oleh sekelompok naga, musuh umat manusia. Saat itu penasihat menyarankan agar kepala desa mengevakuasi warga yang selamat dan pindah ke tempat yang baru. Namun, sang kepala desa yang dikenal sangat cinta dengan tanah airnya menolak saran sang penasihat mentah-mentah. 'Apa yang kau pikirkan?! Apakah kamu takut dengan mereka sampai-sampai kau rela menyerahkan tanah air yang sudah kita perjuangkan selama ini!' Sang kepala desa dikenal sebagai seseorang dengan kekuatan fisik dan sihir yang paling hebat di masa itu. 'Hamba paham anda adalah seorang yang sangat hebat, tapi jika dipaksa melawan sekelompok naga itu, hamba tidak yakin, yang mulia!' ucap sang penasihat dengan penuh khawatir. 'Kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku. Sekarang cepat bawa warga yang masih selamat ke tempat yang aman,' ucapnya sambil menyerahkan kudanya kepada sang penasihat. 'Tunggu sebentar, yang mulia-' tanpa sepatah kata pun, sang kepala desa langsung pergi meninggalkan sang penasihat dan terbang ke arah naga-naga itu. Sang penasihat tahu pasti apa yang akan sang kepala desa lakukan, yaitu menyegel para naga itu dengan mantra sihir terlarang yang sangat kuat, namun sebagai gantinya, sang kepala desa juga harus ikut tersegel bersama para naga tersebut. 'Aku tahu kau akan melakukan hal senekat ini, kepala desa...' ujar sang penasihat. Benar saja, sang kepala desa terus melafalkan mantra terlarang itu dan terlihat naga-naga itu mulai melemah dan melebur bersama dirinya. Tanah berguncang, langit menggelap, petir menggelegar, seraya terdengar wasiat sang kepala desa bak suara alam, 'Aku akan kembali, aku akan kembali menjaga desa ini, tunggu aku, aku akan segera kembali.' Naga-naga itu mulai melebur dan menjadi satu dengan sang kepala desa membentuk suatu batu keras dengan bentuk mirip cangkang spiral yang sangat indah," tertulis di sana.

Warga desa sangat menjaga dan merawat batu itu secara turun-temurun di kuil itu, karena mereka tahu, sosok yang telah menjaga dan menyelamatkan desa mereka ada di dalam sana dan akan segera kembali. Namun, seiring waktu berjalan, sayangnya kepala desa setelahnya mulai melupakan sosok berjasa itu dan mulai tak acuh dengan kuil tersebut hingga terbengkalai dan tidak terawat. Tara mulai paham dengan apa yang sebenarnya terjadi, namun masih tidak percaya akan hal itu. Di tengah keraguan itu, pria tampan yang menghampiri Tara di danau datang kembali menghampiri Tara dan berkata, "Anda telah mengetahuinya. Selamat datang kembali, yang mulia. Kini desa mulai hancur karena pemimpin mereka. Selamatkan lah mereka," ujarnya. Benar, pria itu adalah ruh sang penasihat yang menolak untuk bereinkarnasi karena menjaga desa dan menunggu kembalinya sang kepala desa.

Seluruh kepingan ingatan baru mulai bermunculan di kepala Tara dan saat itu juga tersadar, ia adalah sang kepala desa itu yang kehilangan ingatannya setelah bereinkarnasi. Mulai saat itu, ia paham siapa dirinya sebenarnya dan tanpa ia sadari, Tara adalah nama dari sang pahlawan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun