Pada Pasal 33 (ayat 3) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, saya sudah akrab dengan berbagai pasal dan pasal di atas salah satunya. Tapi baru saat menonton film Di Balik Frekuensi, pemahaman saya mengenai pasal tersebut kian meluas. Selasa, 2 April 2013 bertempat di The Sanur Space kerja sama dengan Pers Mahasiswa Universitas Udayana Akademikamengadakan screeningand discussion film dokumenter Di Balik Frekuensi.Di Balik Frekuensi adalah sebuah film yang merekam dua kisah nyata di balik media saat ini. Khususnya media mainstream dengan sarana frekuensi di udara, yaitu televisi. Film ini menceritakan kisah Luviana, wartawan Metro TV yang di PHK-kan sepihak karena memperjuangankan kultur anti demokrasi yang telah tertanam. Diantaranya pekerja dilarang untuk membentuk serikat pekerja dan kesejahteraan yang kerap dipertanyakan. Sementara kisah lainnya adalah Hari Suwandi dan Harto Wiyonoyang merupakan korban dari lumpur Lapindo. Namun, fakta dapat dengan mudah diputarbalikan di media ketika ada pihak yang memiliki uang dan merasa kepentingannya di usik. Konglomerasi media di Indonesia sudah dimulai sejak runtuhnya rezim Soeharto. Reformasi, sama seperti hal atau mahluk lain yang juga memiliki kekurangan. Ribuan media, baik nasional maupun lokal yang ada di Indonesia justru dimiliki oleh segelintir orang saja. Celakanya, beberapa pemilik modal tersebut kini terjun ke dunia politik. Redaksi tidak ubahnya menjadi humas partai politik, dan di aduk-aduk oleh mereka. siapa yang pantas diberitakan, siapa yang tidak, dan kalau diberitakan dengan framing yang bagaimana. Ini merupakan satu kekurangan reformasi yang harus kita cermati dan waspadai sebagai publik. Karena frekuensi yang berada di udara sejatinya digunakan sebesar besarnya untuk kepentingan publik. Dan reformasi serta demokrasi menuntut kita menjadi publik yang lebih cerdas. Salah satu scene dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H