Mohon tunggu...
Candra Dewi
Candra Dewi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I have a Wonderland on my head and I living it. A full time lover, love to sharing. A woman on a mission so I need no permission.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Pewarisan Adat Berbasis Gender sebagai Pengaruh Globalisasi

10 Januari 2014   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ni Putu Candra Dewi

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana

Kebudayaan mempunyai tiga dimensi perwujudan. Pertama, sebagai komplek ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang dikenal sebagai sistem budaya atau kebudayaan ideal. Kemudian, kebudayaan dalam wujud komplek aktifitas dan kelakuan manusia yang berpola, disebut sebagai sistem sosial. Ketiga adalah kebudayaan dalam wujud benda-benda hasil karya manusia, dalam hal ini merupakan  kebudayaan materiil. Perwujudan kebudayaan di atas seluruhnya juga dimiliki oleh masyarakat di Pulau Bali.

Kebudayaan ideal yaitu adat tata kelakuan atau adat istiadat yang berfungsi untuk mengatur, mengendalikan, memberi arah pada kelakuan manusia yang hidup bermasyarakat. Dalam hal ini, dikenal hukum adat yang terdapat dalam suatu masyarakat. Masyarakat pada suatu daerah memiliki kebudayaan sendiri lewat corak serta sifat-sifat tersendiri. Melalui ciri khas itu, terbentuklah suatu hukum adat, sebagai pencerminan jiwa yang berbeda dan dimunculkan pada kebudayaan yang berbeda.

Ketika membicarakan kebudayaan Bali, pikiran mayoritas akan terarah pada kesenian, ritual upacara keagamaan maupun tradisi-tradisi yang telah dijalankan turun temurun. Pada tingkatan selanjutnya, sebagian akan mengaitkan dengan konsep Tri Hita Karana, yaitu harmonisasi hubungan manusia dengan alam, dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Demikianlah Bali sebagai suatu panggung pertunjukkan atas nama pariwisata untuk dunia.

Posisi Bali yang lebih dikenal karena pariwisata berpengaruh terhadap kemudahan masuk arus globalisasi melalui ilmu pengetahuan teknologi, ekonomi, politik hingga budaya. Bagai pisau bermata dua, globalisasi memiliki pengaruh dalam tiap aspek kehidupan masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap globalisasi cenderung berbeda pada tiap generasi, sebaran tempat tinggal, maupun status sosial. Pada akhirnya, modernisasi maupun globalisasi memiliki dampak baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap kehidupan masyarakat, termasuk budaya suatu masyarakat.

Pengaruh globalisasi terhadap  kebudayaan sangat besar, melalui media massa yang semakin memudahkan, misalnya saja internet, terjadi kontak budaya. Dimana dalam kontak budaya, masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai budaya yang berbeda dari yang masyarakat Bali pegang selama ini. Untuk itu, diperlukan masyarakat kekinian yang cerdas untuk sekadar menilai bahkan mengkaji budaya mana yang tetap mereka jaga dan yang mana yang sesuai dengan kehidupan masa kini.

Perempuan bali yang diidentikan dengan tradisi, kewajiban, sensualitas, keras kepala hingga rasa syukur juga bagian dari masyarakat yang senantiasa bergerak. Melalui perkembangan media dan teknologi informasi, perempuan Bali sudah mulai mengenal konsep kesetaraan gender. Mulai dari berbagai aliran feminisme hingga sistem hukum kewarisan perdata Barat. Sehingga timbul keinginan untuk menuntut kesetaraan, salah satunya dalam pembagian warisan.

Hukum adat bali, sebagai bagian dari perwujudan pertama kebudayaan atau sistem kebudayaan di Bali memaknai warisan sebagai satu kesatuan antara kewajiban dan hak yang tidak terpisahkan. Dalam hal ini, anak laki-laki dianggap memiliki kewajiban yang lebih berat dari anak perempuan. Maka, khas dengan kebiasaan timur yang mendahulukan kewajiban sehingga selama berabad-abad anak laki-laki sebagai simbol purusa dianggap berhak mendapatkan warisan. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 200 K/SIP/1958 pada 3 Desember 1958 menyatakan:

“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah ahli waris dari mendiang Pan Sarning.”

Bila disimak lebih mendalam, sistem perkawinan di Bali bukan patriarki murni, yang disebut sebagai purusa pun tidak melulu anak laki-laki. Namun, persepsi masyarakat yang sejak awal demikian, menyebabkan penguatan terhadap anggapan anak laki-laki adalah segalanya. Hal ini berimplikasi terhadap perlakuan orangtua di Bali yang memanjakan anak laki-laki dan meningkatkan arogansi bagi sebagian laki-laki. Sementara, dimanapun terjadinya kekerasan maupun kesenjangan terhadap perempuan disebabkan oleh budaya patriarki atau dominasi laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun