Mohon tunggu...
Candra Gani
Candra Gani Mohon Tunggu... -

Memiliki ketertarikan tinggi dalam bidang Community Development

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bedah Kampus, Pembangunan Daerah, dan ASEAN Free Trade Area

3 April 2014   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hoy… hoy… hoy… hoy… hoy… hoy… hoy…

Kami ini orang asli Belitong

Hoy… hoy… hoy… hoy… hoy… hoy… hoy…

Inilah tempat kami, Kampong Gantong

Kata orang pulau kami pulau kaya…

Timah dimana-mana…

Ah… ah… tapi siapa yang punya…

Bukan !!! kami yang punya

Kami hanya kuli-kuli belaka…

Menengok pada fenomena sosial yang coba diejawantahkan pada sebuah novel Laskar Pelangi membuat hati kita sebagai putra bangsa tersayat. Di negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini, ribuan anak kehilangan hak nya untuk bersekolah dan tumbuh dewasa. Belum usai kesedihan dengan Belitong, menyusul perpanjangan kontrak dengan Freeport yang pembagian hasilnya berada pada posisi di luar akal normal.

Fenomena kebijakan daerah yang pro pemodal seperti ini banyak ditemui dan nyaris di seluruh wilayah di Indonesia. Sumber daya alam yang seharusnya mampu memakmurkan penduduk setempat diraup oleh investor dan warga lokal sebatas diberi kesempatan menjadi tenaga kerja. Pemerintah yang seharusnya memiliki kwajiban untuk membuat peraturan yang melindungi warga negaranya, tunduk pada kepentingan pemodal.

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (PMPD)di Provinsi saya tinggal, Lampung, tahun 2012, dari 2.379 desa yang tersebar di 14 kabupaten/kota, sebanyak 486 desa masih tergolong sebagai desa tertinggal. Hal ini berarti sekitar 20% dari seluruh wilayah Lampung membutuhkan perhatian yang serius, karena dilain pihak, Lampung juga memiliki sumber daya alam yang melimpah, sama dengan provinsi lain.

Lampung memiliki potensi pertanian, perkebunan, peternakan, pariwisata, industri pangan, dan sebagainya. Kelebihan tesebut sangat menguntungkan bagi proses pembangunan jika dikelola dengan benar, namun akan menjadi duri dalam daging jika kita sebagai penduduk lokal tidak lekas percaya diri dan menyerahkan pengelolaan kepada investor. Sudah saatnya putra daerah yang ada bangkit dan tumbuh menjadi manager-manager daerah yang mampu mengelola sumber daya tersebut sesuai dengan kearifan lokal yang ada.

Proses pematangan kualiatas sumber daya manusia menjadi faktor yang penting dalam proses ini. Mau tidak mau putra daerah harus memiliki kemampuan yang mumpuni dan keahlian khusus dalam mengelola suatu hal. Namun faktanya, jumlah anak daerah yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi tidak lebih dari 5 %, bahkan dibeberapa desa hanya mencapai angka 3%. Padahal di perguruan tinggilah mereka akan dididik menjadi manager-manager daerah yang keilmuannya memampukan mereka untuk memaksimalkan potensi daerah. Sebagai contoh, sarjana pertanian akan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melukakan metode tanam yang efektif dan menghasilkan hasil panen yang berlipat ganda, mereka mengetahui bagaimana mereka harus menjual dan juga mengelola hasil panen tersebut dengan keilmuwan, jaringan, dan wawasan yang lebih luas dibanding dengan mereka yang tidak menjejakkan kakinya di perguruan tinggi.

Terlebih lagi, Indonesia akan segera memasuki periode AFTA (ASEAN Free Trade Area) dimana investor dari Negara lain akan lebih cepat masuk ke Indonesia dan persaingan semakin ketat. Jika kita tidak segera meningkatkan ketahanan ekonomi daerah dengan meningkatkan sumber daya manusia yang mampu menjadi manager lokal maka episode diperbudak di negeri sendiri tidak dapat dielakkan lagi.

Namun beda cerita ketika Indonesia memiliki manager daerah yang mumpuni hingga level desa. Potensi di desa dapat dikelola dengan baik, dan jika investor datang maka proses hubungan yang akan tercipta bukanlah pemodal-pekerja seperti yang telah terjadi di Indonesia sebelumnya, namun pola hubungan mitra antara sumber daya manusia lokal yang mampu mengelola sumber daya alam setempat dengan investor yang memiliki uang dan teknologi. Sehingga ketika investor mengalami perkembangan, penduduk lokalpun turut berkembang dan tidak hanya menjadi kuli di negeri sendiri.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, bagaimana membuat anak-anak daerah ini memiliki kemampuan yang mumpuni ? Sebagai seorang anak muda saya mencoba melakukan suatu hal yang sederhana namun membawa kebermanfaatan yang besar bagi lingkungan. Saya dan teman-teman memulai sebuah platform online bernama “Bedah Kampus Indonesia” yang membantu anak-anak di daerah untuk mengakses pendidikan tinggi, agar mereka dapat tumbuh menjadi SDM yang unggul dan siap menjadi manager di daerahnya masing-masing dalam kurun waktu 5 – 10 tahun yang akan datang.

Program Bedah Kampus menawarkan tiga program diantaranta “Adik Asuh”, “Kakak Asuh”, dan “Orang Tua Asuh”. Adik asuh merupakan anak SMA yang kita bina agar memiliki kemudahan akses ke Perguruan Tinggi, sementara kakak asuh adalah relawan yang akan membina dan menginspirasi adik asuh melalui media online. Sedangkan Orang Tua Asuh adalah professional yang tergabung sebagai donatur.

Hari ini kita banyak bermimpi bahwa Indonesia memiliki ribuan Hatta muda yang memiliki gagasan cerdas untuk negeri walaupun sedang belajar di Negara lain. Kesibukan di Negara lain tidak dapat dipungkiri sangat padat. Namun sesekali waktu menyempatkan diri untuk menjadi “Kakak Asuh” dan menjadi inspirasi bagi adik-adik di Indonesia akan sangat bermanfaat untuk membakar semangat generasi muda dalam menempuh proses belajar. Apalagi mereka yang sedang menempuh pendidikan di luar adalah putra-putri terbaik bangsa. Kelak anak-anak muda yang terinspirasi ini dapat menyusul jejak kakak-kakak mereka, menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya, dan kembali menjadi manager yang tangguh di daerah masing-masing.

Sebuah sudut pandang global yang dipadukan dengan proses pembangunan lokal, akan membawa Indonesia pada kondisi ketahanan pembangunan masyarakat yang baik, sehingga walaupun kita menghadapi tantangan pasar bebas, menjadi budak di negeri sendiri bukan lagi satu-satunya pilihan. Hari itu kita mampu bersaing dengan Negara lain, mengelola kearifan lokal dengan baik, dan menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera. Mengapa tidak mimpi itu bersama kita wujudkan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun