Mohon tunggu...
Candra Aditama
Candra Aditama Mohon Tunggu... Teknisi - Tentang

Mencari Ilmu dan Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Sejenak di Pulau Tidung

17 Februari 2013   04:25 Diperbarui: 9 November 2020   09:13 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejujurnya saya suka berkunjung ke tempat wisata yang bertemakan alam, natural, dan dengan keadaan sepi. Saya sangat anti berkunjung ke tempat ramai yang penuh dengan manusia seperti mall, acara festival, dll. Sepertinya saya memiliki mental yang sedikit bermasalah dimana saya takut bertemu dengan sosok manusia baru.

Dengan begitu saya menghabiskan banyak waktu sendiri di kamar atau meng"glundung" di setiap ruang dalam rumah. Saya tipe anak rumahan, dan mungkin saya layak menyandang title sebagai orang yang paling membosankan di dunia. Akan tetapi, ketika saya melihat foto-foto sebuah perjalanan teman, saya merasa ingin mencoba hal baru. Dan akhirnya saya putuskan untuk menuju tempat wisata yang tak asing lagi, Pulau Tidung.

Dan itu menjadi salah satu keputusan yang membawa nasib kurang baik bagi saya. Saya seakan memiliki tubuh dan pikiran yang berusaha untuk menghancurkan hidup saya dan mempermalukan saya di depan khalayak umum. Seperti kejang - kejang saat bicara dengan pujaan hati, atau pengen beol pas shalat berjamaah di barisan paling depan saat Idhul Adha. Sometimes I think the universe hates me. Dan salah satu hal yang sangat saya takutkan pada saat keputusan liburan ke Tidung diambil adalah sebuah "perjalanan" menuju lokasi wisata tersebut. Mimpi buruk pun terjadi disini. Pada saat keberangkatan, kami diantar menggunakan jasa kapal laut. Kapal ini seperti kapal ikan, agak besar dengan 2 lantai, terbuat dari kayu. Dan di kapal tersebut, mengangkut banyak penumpang yang juga akan berkunjung ke tidung.

Awal perjalanan semua baik - baik saja, sampai akhirnya saya kebelet pipis di menit ke 45 setelah perjalanan dimulai. Beberapa menit kemudian saya bertanya kepada petugas kapal tentang lokasi toilet, dan beliau mengatakan toilet ada di bawah. Saya pun turun dengen diiringi puluhan pasang mata menyaksikan aksi turun tangga saya. Pintu toilet terlihat bersama puluhan penumpang disekitarnya. Sampai di depan toilet, pintu toilet tertutup.

Dengan sigap saya coba buka, karena menurut analogi ahli antropologi dalam hati saya, jika ada orangnya pasti terkunci, dan jika tidak ada orangnya, pintu cuma ditutup. Dan kesalahan saya selanjutnya adalah percaya pada ahli antropologi gadungan. Begitu pintu saya tarik, pintu terbuka, dan tiba - tiba "Eeeeeeeeeeeh", teriak mbak yang ada di dalam toilet.

Secepat kilat saya tutup pintu kembali, saya hanya bisa berdiri kaku seperti kayu glondongan yang hendak diselundupkan. Pucat pasi dengan puluhan pasang mata menatap wajah yang sudah tidak punya harga diri. Saya tetap berdiri di depan pintu toilet menunggu mbak-nya keluar untuk meminta maaf, dan kemudian berniat menceburkan diri ke laut. Dalam hati saya membuat keputusan, jika mbak-nya marah, saya akan menceburkan diri ke laut.

Pria yang sudah tak punya harga diri ini tak pantas lagi untuk hidup. Lebih baik mati daripada menanggung malu. Lelaki biadab ini telah membuat keputusan terbodoh dalam sejarah manusia, yang membuat hati seseorang menjadi gundah. Jika sang wanita tak rela, maka saya siap untuk membenamkan diri di laut bersama rasa malu yang tak terkira ini, atau saya siap bertanggung jawab dengan menikahi sang wanita jika dia bersedia.

Selang beberapa menit mbak-nya keluar. Saya mempersiapkan diri, jasmani dan rohani, untuk dimaki - maki. Kemudian dengan posisi badan membungkuk sedalam - dalamnya, saya mengatakan "Mohon maaf mbak, saya tidak sengaja. Saya ga liat apa - apa koq". Setelah "pause" beberapa detik, saya memberanikan diri menatap wajah mbak-nya. Mbak-nya hanya menatap wajah saya, tersenyum, kemudian berlalu. Saya bingung apa yang harus saya lakukan, apakah saya harus meloncat ke laut, atau menikahi beliau?.

Saya masuk ke toilet dan memenuhi panggilan alam sambil merenung akan keputusan yang harus saya ambil. Setelah selesai, saya keluar, berlari, menutup wajah dengan jaket, kemudian meringkuk di lantai. Berharap alien meng-invasi kapal, atau ada cumi - cumi raksasa yang tiba - tiba melilitkan tentakelnya ke badanku dan menariknya ke laut terdalam. Sampai saat ini, saya masih bingung dengan keputusan mana yang harus saya ambil.

Sepanjang perjalanan, saya menatap jendela dengan mata berkaca - kaca. Terlihat pulau - pulau indah disekitar. Lumba - lumba terlihat ceria dengan melompat keluar air. Air yang biru, dan langit yang cerah. Angin yang berhembut lembut nan segar. Canda tawa orang yang ada di dalam kapal terdengar samar - samar. Semua bahagia, kecuali saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun