Nyelipin fiksi dalam ruang sejarah jadi tantangan sendiri buat kreator dan nggak jarang jadi hiburan sekaligus tambahan wawasan bagi para penikmatnya. Pandangan ini rasanya diamini oleh adaptasi manga berjudul Jin, atau Dr. Jin untuk versi Koreanya.
[caption id="" align="aligncenter" width="311" caption="Ayase Haruka (i702.photobucket.com)"][/caption]
Jin sendiri nyeritain soal perjalanan waktu yang tak terduga (time slip). Ngeliat judul sama temanya, paling nggak ada dua elemen menarik yang bisa kita nikmatin disini, yaitu elemen sejarah dan medis.
Cerita bergulir menarik ketika dalam salah satu episodenya ngebahas soal wabah kolera pada sekitar tahun 1860-an (atau korori dalam bahasa Jepang dan gwejil dalam bahasa Korea). Walaupun adaptasi manga ini cuma fiksi, Motoka Murakami tetep merhatiin dekaik sejarah. Sekitar tahun 1860-an, masyarakat Asia memang ngadepin pandemik keempat kolera. Seenggaknya terdapat 250.000 korban jiwa (1860), itu baru di Edo (sekarang dikenal sebagai Tokyo), entah Borneo, Celebes, Madura atau Jawa. Empat nama yang nggak asing buat masyarakat Indonesia, tapi bukan sejarahnya, seenggaknya buat saya. Pulau-Pulau Indonesia (1863-1864 dan 1873) itu emang pernah mengalami wabah kolera pada rentang waktu yang berdekatan dengan Jepang (1864-85).
[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Park Min Young (www.soompi.com)"]
![Park Min Young (www.soompi.com)](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555e476f0423bdc15a8b4568.jpeg?t=o&v=770)
Klo diliat dari jumlah korban sama angka di belakang pandemik, perawatan pasien kolera saat itu kayaknya blom semaju sekarang deh. Dan tema itu yang kira-kira coba diangkat Motoka Murakami lewat Jin. Secara umum (koreksi kalau salah), kolera adalah penyakit yang disebabkan bakteri yang mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasinya sendiri antara lain disebabin karena diare sama muntah. Untuk saat ini, pengidap kolera bisa dikasih perpaduan larutan garam dan gula atau madu sebagai pertolongan pertama, tapi belum di era tersebut. WHO sendiri baru nerapin terapi Oral Rehydration Salts untuk ngatasin diare sekitar tahun 1978/79. Proses perkembangan pemahaman tentang oralit sendiri konon jadi proses panjang yang menarik untuk dipelajarin. Pemahaman soal pengangkutan glukosa dan klorida pada tubuh manusia baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Terkait dengan dehidrasi, pada prinsipnya, waktu ngalamin diare, seseorang akan kekurangan cairan tubuh dan unsur garam.
In specific mixture, salt and sugar must be given orally. It must be given in nearly the condition water forms in our bodies. That way it can be easily absorbed by the body.
Minjem penjelasan Dokter Jin, dengan komposisi yang tepat, perpaduan cairan garam dan gula, seperti halnya air kelapa, bisa ngembaliin cairan tubuh yang ilang (kayak ngiklan minuman isotonik aja). Bukan cuma oralit, dalam cerita ini, Jin ngebagiin cerita tentang cara hidup bakteri kolera, sama cara bikin dan ngasih oralit lewat tabung infus. Prosedur IV ini dilakukan mengingat asupan cairan cenderung lebih mudah dimuntahkan jika hanya hanya diminumkan. Upaya pencegahan juga diceritain di drama ini. Jin minta warga untuk matengin setiap makanan atau minuman yang mereka konsumsi supaya bakterinya nggak berkembang sekaligus minta pakaian yang udah terpapar bakteri untuk dibakar. Bahkan untuk alasan kebersihan ma kesehatan, warga diarepin untuk mensterilasi tangan pake alkohol saat akan ngelakuin aktivitas. Penjelasan yang terbilang sederhana untuk saat ini, namun bisa jadi cukup menantang di era Edo atau Joseon. Dalam literatur sendiri, praktisi medis Jepang abad kesembilanbelas make fenol sebagai disinfekan bakteri kolera, seperti yang tergambar dalam lukisan Korori fusegi no etoki (1877). Pada gambar tersebut, ujung pedang seorang samurai dikasih fenol buat nangkal Kolera.
[caption id="" align="aligncenter" width="368" caption="cdn.calisphere.org"]
![cdn.calisphere.org](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555e47720423bdc15a8b4569.jpeg?t=o&v=770)
Wawasan yang saya dapet dari Jin bukan cuma soal kolera aja, tapi juga beri-beri. Seinget saya, waktu SD, saya dikasih tau klo beri-beri disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin B. Beras coklat kalau nggak salah disebut sebagai sumber makanan yang mengandung vitamin B. Lewat Jin, penjelasan mengenai beri-beri disampein lewat cerita. Lewat Jin, saya bukan cuma dapet penjelasan soal beri-beri (kak’ke dalam bahasa Jepang) tapi juga budaya dan kebiasaan makan masyarakat sono waktu itu. Masyarakat jaman Edo, terutama masyarakat kelas atas, lebih doyan makan beras putih daripada beras yang belum dibuang kulit arinya (beras coklat). Karena kekurangan sumber vitamin B dari kulit ari, nggak sedikit masyarat Jepang yang mengalami beri-beri. Praktisi medis Jepang saat itu memberikan asupan diet berupa Jelai (barley) dan kacang Azuki untuk memulihkan kondisi pengidapnya
[caption id="attachment_313557" align="aligncenter" width="438" caption="minjem gooddrama"]
![1404203640732845929](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1404203640732845929.png?t=o&v=770)
Ilustrasi ini coba diangkat pada salah satu episode Jin. Di episode itu, ibu dari Saki, salah satu kolega Jin menderita beri-beri. Ngenalin beras coklat sama ibunda Saki jadi tantangan tersendiri buat Jin, maklum aja, Jin dianggep udah ngeracunin putrinya dengan pengetahuan dan aktivitas medis. Aktivitas yang dianggap terlalu maju di eranya. Dokter perempuan pertama di Jepang aja baru tercatat tahun 1885 atas nama Ogino Gin yang jadi dokter pada usia 34 tahun. Tantangan Jin semakin beragam mengingat status sosial keluarga Saki yang relatif terpandang dan pandangan keluarga ini yang masih cenderung kolot. Butuh bukti dan energi lebih untuk memperkenalkan hal baru pada keluarga Saki. Terlebih lagi, tidak seperti abad 17, beras putih di era yang lebih modern ini lebih gampang dijumpai dan dijual
Untuk ngatasin penyakit yang di jaman Edo dikenal sebagai Edo sickness itu, Jin dan Saki bikin donat yang sekilas keliatan dari ubi jalar. Awalnya donat yang dibuat untuk ibunda Saki cuma donat biasa, tapi pas udah dipasarin untuk umum, pada bagian atas donat diberi olesan pasta kacang azuki (sumber vitamin B1 lain).
[caption id="" align="aligncenter" width="354" caption="Donat dengan topping selai azuki (s3.amazonaws.com)"]
![Donat dengan topping selai azuki (s3.amazonaws.com)](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555e47750423bdc15a8b456a.jpeg?t=o&v=770)
Sebenarnya masih ada beberapa pengetahuan medis yang bisa kita nikmati lewat serial ini, misal tentang anatesi dan pembuatan penilisin, cuma rasanya lebih pas klo dinikmatin sendiri (bisa aja ngelesnya bilang aja prosedurnya rada ribet, jadi ngejelasinnya rada bijimana gitu). Menariknya, walopun banyak istilah dan aktivitas medis, drama ini nggak berkesan ekslusif karena disampein lewat bahasa dan ilustrasi yang relatif gampang dikunyah. Mungkin karena alesan ini rating drama ini nyampe 18% di musim perdana dan 20% di musim berikutnya. Terlepas ceritanya yang (blom) masuk akal, drama medis dan historis bukan cuma ngasih hiburan tapi juga pengetahuan baru yang kadang cuma nyelip di buku, internet, atau kolong sejarah doang.