Tidak heran tim seperti Detroit Pistons, Cleveland Caveliers, Orlando Magic, dan New Orleans Pelicans jadi tim yang rajin dapet draft urutan-urutan awal beberapa musim belakangan, dengan masa depan yang masih abu-abu, bisa jadi bagus apabila Cade Cuningham (Pistons), Evan Mobley (Cleveland Cavaliers) yang konon emang punya defense dan tembakan tiga angka bagus, tidak mati gaya dan punya visi lebih bagus begitu ditempel pemaen bertahan sekaliber pemain NBA (secara begitu ditempel pemain sekaliber anak kuliahan aja masih cenderung kikuk), begitu juga Jallen Suggs (Orlando Magic yang dikenal kurang jago menembak tiga angka.
Seperti halnya rookie musim-musim sebelumnya yang rerata dipuji setinggi langit karena tolok ukur yang jelas, yaitu raihan angka per pertandingan di atas 15 poin, tinggi badan yang memadai (kurang lebih dua meter, sukur-sukur lebih), rentang tangan yang panjang layaknya Kevin Durant dan Kawhi yang berimbas pada kemampuan mengeblok tembakan, dan kemampuan menutupi ruang tembak lawan, serta yang mahapenting akurasi tembakan dan kemampuan menyelesaikan tembakan dalam posisi sulit di bawah jaring dan di area tiga angka.
Ketika mereka punya syarat minimal nan maha penting tersebut mereka akan menuai puja-puji dalam dua atau tiga tahun ke depan, bahkan di musim pertama jika mereka bagus. Jika tidak percaya tanya saja fans Devin Booker, Donovan Mitchell, atau Tyler Herro yang gaya bermainnya mirip meski, untuk Herro, melempem di tahun kedua.
Syukur-syukur mereka punya persyaratan fisik tadi, dan makin matang dari hari ke hari. Pemain dengan tipe seperti itu biasanya baru mulai mendapat apresiasi para netizen budiman di tahun ketiga atau keempat mereka bermain seiring meningkatkanya jumlah poin per pertandingan dan makin mampu memimpin tim di bawah tekanan. Dua alumni Los Angeles Lakers, Brandon Ingram dan Jordan Clarkson, ironisnya baru bisa membuktikan opini tersebut selepas mereka bermain di tim baru.
Saya pribadi masih perlu diyakinkan lebih lanjut melihat kiprah Zion Williamson dan rekan-rekan rookie seangkatannya, lantaran meski punya tenaga sekuat banteng atau bison, skills Zion di luar yang berkaitan dengan kekuatan fisiknya, atau rekan-rekan seangkatannya yang memang punya postur ideal (di atas dua meter) dan akurasi tembakan serta kemampuan bertahan dan menyerang yang seimbang, belum bisa menunjukkan kualitas yang lain, yang membuat mereka layak tampil lebih dari sekedar role player dua tiga musim mendatang, entah itu leadership layaknya Ja Morant (rekan seangkatan mereka yang punya akurasi tembakan tiga angka makin hari makin menurun) atau visi permainan yang bagus layaknya Draymond Green. Kebetulan, meski punya tembakan tiga angka yang aduhai buruknya, kengototan, visi bermain, dan wajah cerianyalah yang membuat mampu memompa semangat tim. Berbeda dengan Ben Simmons yang meski punya skill sekaligus kelemahan yang sama mendasarnya dengan Green, namun mendapat apresiasi yang kurang bersahabat lantaran penampilannya yang stagnan sejak musim perdana bahkan cenderung menurun, dan makin riuh lantaran selalu dikait-kaitkan dengan Kendall Jenner dan sebagainya, termasuk berita trade dirinya yang dianggap tidak layak jika ditukar lebih dari dua pemain (kebetulan klo ini yang ketiban nyinyir general managernya philadelpia 76ers yang ngerancang rencana trade-nya).
Menarik ditunggu ke mana arah drama Simmons selanjutnya apakah akan bertahan atau pindah, mengingat jika yang bersangkutan pindah, bukan  cuma tim barunya yang otomatis difavorikan masuk babak playoff, tapi juga berimbas perpindahan pemain ke-30 tim lainnya, terutama tim-tim papan tengah lantaran tim papan atas rata-rata sudah mulai kliatan hilal eh susunan pemainnya di awal bursa riweuh, baik itu free agent maupun trade
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H