Mohon tunggu...
Indah Purwaningsih
Indah Purwaningsih Mohon Tunggu... -

Penikmat Sastra\r\ndari dulu pengen belajar nulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teman: Sebuah Pemaknaan

11 Agustus 2011   04:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Membaca catatan bapak Dosen laki-laki ku yang lebih aku anggap sebagai Bapak, dan teman: Catatan Harian: Belajar Memahami Teman. Dan aku membacanya lebih ke bagaimana memahami, melihat, dan memaknai seorang ‘teman’. Senyumku semakin merekah sejalan pupil mataku yang tak berhenti mengikuti huruf huruf yang diketik dalam Calibri 12 itu. Aku merasa mendapat angin segar. Seseorang menyetujui sebuah konsep pertahanan yang aku pikirkan selama ini, yang mengendap terlalu dalam, entah di bagian alter ego bawah sadar bagian mana. Aku lega. Aku bisa tersenyum. Dan nanti malam akan kuceritakan padamu di telepon bahwa selama ini aku tidak salah. Aku tidak salah telah menyusun sebuah sketsa apik tentang teman, teman dalam pemaknaanku.

Katamu, semua teman itu sama. Kata mereka juga. Tapi kataku tidak. Aku sering bermain lari larian dengan teman teman SD dulu. Kami adu lari untuk sampai duluan di pohon sono, lalu menempelkan tapak tangan di sana.  Tawa akan pecah, bangga menjadi yang nomor satu. Tapi, waktu itu aku jatuh, aku nangis, lututku berdarah. Mereka malah menertawakanku. Tiba tiba, si rambut kuncir kuda membantuku berdiri, dan menemaniku pulang. Kataku, tidak semua teman sama. Apalagi jika kata kata asing terkenal itu “A friend in need is a friend indeed” diterapkan, mereka yang ‘itu’ tidak bisa disebut teman, bukan?? :D

Ketika SMP, aku memiliki teman dekat. Kami begitu dekat. And she is my friend indeed. Kami saling ada ketika satu sedang in need. Seakan Tuhan mencipta kami saudara yang terpisah, kedekatan itu semakin erat ketika masa SMA. Pernah suatu ketika, ada ‘kecoak’ yang tiba tiba muncul. Dikiranya kami akan saling memukul?? Yang ada, kami injak bareng bareng ’kecoak’ busuk itu lalu membuangnya ke laut. Hahay….

Masa kuliah sungguh berbeda. Seperti cat air yang tiba tiba dimoncrotkan tak karuan di atas kanvas putih lalu disapukan ke segala arah. Campur anatara kuning, hijau, jingga, biru, abu abu. Di sana juga ada hitam. Tak banyak, hanya beberapa titik, tapi mengkilat. Aku senang bermain main air dengan si biru, juga melukis rima di antara jingga. Si hijau juga memberiku sejuk di antara sengat. Abu abu??? Hmm…tak pernah ada yang seunik dia.

Dan aku mulai mengelompokkan mereka. Karena bagiku, tidak semua teman sama, meski katamu sebaliknya. Meski sebagian diriku berontak untuk menerima bawah sadar kolektifku. Meski aku dan teman teman masa lalu ku kini hanya bisa bicara dengan tuts jari di atas keyboard, yang teramat sangat jarang sekali, tapi mereka tetap melati bagiku. Begitu pun dengan aneka warna pelangi yang menyibak senjaku. Sayang, noktah noktah  hitam masih menoda. Seperti flek yang mengendap di paru paru. Kanvas tak mungkin terhapus.

Aku mengamini apa yang ditulis Bapak Dosenku yang lebih aku anggap sebagai Bapak, dan teman, dalam catatannya. Aku juga ingin hidup dalam damai, dengan jiwa yang sehat. Tanpa terusik oleh bangkai kecoak atau pun noda hitam. Katamu, itu bisa kudapat jika hati bisa memaafkan. Noda  noda hitam itu akan luntur seperti terendam deterjen. Ah kamu!!

Lalu, tanyamu: “tak mungkinkah memaafkan?”. Jawabku: “masih belajar”.

Dan ketika Ramadhan sudah menebarkan harumnya, kamu bertanya lagi, “Sudah bisa??”.

Kubiarkan diamku menjawab, “belum”.

Tak letih kau membujuk,”Bukankah Rasul mengamini tiga kali doa Jibril agar Allah tidak menerima puasa umat sebelum hatinya bersih termaafkan?..Ehmm, dan, Bukankah kamu sendiri yang memberitahuku?” Sambungmu penuh hati hati.

Diamku menjawab. Membiarkan ego dan superego beradu. Aku hanya ingin hidup dalam damai, dengan teman teman masa lalu dan kini ku yang disebut ‘teman’ dalam kata kata asing terkenal tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun