Mohon tunggu...
Indah Purwaningsih
Indah Purwaningsih Mohon Tunggu... -

Penikmat Sastra\r\ndari dulu pengen belajar nulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sampah Serapah

15 April 2011   04:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih terlalu pagi untuk menyumpah serapah.Subuh belum lima menit mengucap salam dan berlalu menutup pintu pintu surau. Ayam ayam jantan juga baru mulai meregangkan otot oto sayap merah hitamya sebelum akhirnya melompat ke atas pagar mendendangkan kokok kokok penuh cengkok.

Masih terlalu dini untuk sebait sepah. Embun dan kabut masih saling berpelukan mesra tak rela tuk segera terpisah oleh amarah. Tak ada guna. Toh mereka juga akan menguap begitu saja tanpa basa basi bersama kepulan asap deru corong mesin mesin beroda empat. Lagipula, sepah serapah mu pasti juga tak lebih indah dari barisan pepatah. Dinyanyikan pun tak mungkin terdengar lebih merdu ketimbang dengunan tawon tawon madu berkepala penuh bulu. Sudahlah, kenapa tak bergegas mengenakan baju dinas tanpa lengan beserta stelannya, celana safariselutut,plus topi bundar dengan silangan benang benang rajut? Coba lihat, mereka sudah menantimu.

Pagi masih terlalu biru, terlalu sayang jika hanya untuk barisan serapah. Jauh lebih bijak jika kau dedikasikan untuk sekarung sampah.

Kau geliatkan tubuh mungilmu. Dan katamu:

Kamu benar, tak ada gunanya serapah. Masih terlalu pagi. Terlalu dini. Masih biru. Aku pun masih terlalu suci untuk itu.

Memang, aku tak sepintar dan se’elit kamu karena mungkin aku belum setua kamu. Tapi kita memang beda sih. Lihat, kakiku tak semulus kakimu. Kakiku lebih cocok memakai lotion hasil ekstrak debu dan asap asap jalanan, yang selalu membuatmu bergidik dan meludah di dekat kakimu yang tiap minggu dipoles lendir lendir lidah buaya. Ah, seperti yang aku bilang tadi, aku masih terlalu suci. Karena itu tak pernah kuinjakkan kakiku di atas tai asu, yang kata ustad di tivi najisnya bukan main parahnya. Termasuk juga menginjakkannya ke dalam gedung mewah yang katanya mau direnovasi dengan uang hasil rampokan. Cih! Tak sudi aku.

Seperti halnya teman teman seumuranku. Aku masih gemar bermain main. Jika mereka yang berkulit mulus lebih senang bekejar kejaran di pantai atau berebut McD Toys, aku pasti lain lah. Aku lebih suka berlari lari di tengah rimba gedung gedung mewah beralaskan aspal yang ganas menyengat. Aku lebih suka berlarian mengejar metromini yang sudah sesak dan pengap, mondar mandir di antara deru mesin mesin beroda empat yang bebaris tak rapi di perempatan lampu merah yang tak kalah panjangnya dengan jembatan Shiratalmustaqim. Dan aku lebih suka berebut manusia ketimbang mainan mainan murahan yang mahal itu. Aku akan berebut manusia dengan teman teman jalananku agar mau menukar tumpukan kertas -yang tak pernah bosan mengabarkan orang orang elit sepertimu dan bumi yang semakin panas- yang kami tawarkan dengan harga sebungkus nasi putih dengan sepotong tempe goreng.

Aku suka itu. Tapi sayang masih terlalu pagi, seperti katamu. Belum saatnya aku mencinta rimba dan berloma lari dengan teman teman jalanan-ku. Kau tau, kalau boleh jujur, sebenarnya yang sebenarnya, aku sangat ingin sekali untuk menyumpah serapah. Tapi kau sudah membujukku. Padahal kemarin aku aku sudah menahan untuk itu, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya yang kemarin lagi. Dan kau selalu tak pernah berhenti membujukku. Katamu, tak pantas mengeluh apalagi menyumpah. Dosa. Bukankah masih terlalu pagi dan aku terlalu suci??

Iya. Dengan memori otakku yang masih mini, aku berusaha memahami kata kata mutiaramu. Tak seharusnya manusia manusia yang tak pernah mengenal buku dan seragam berhak bicara, apalagi menyumpah serapah. Apalagi jika manusia itu tak lebih dewasa dari bayi tikus, hahai, ya seperti aku ini. Mana pernah ada tikus mencicit karena kejepit lantas ditolong?? Paling juga malah diinjak hingga ususnya moncrot.

Ah, tapi tak mengapa. Bajuku memang murahan, tapi warna putihnya belum semua tertutup tanah. Kulitku memang mengkerut tak mulus, tapi ini juga karena semalam meringkuk kedinginan seperti anak ayam di dalam kardus. Karena itu aku paham jika kalian atau mereka tak mau mendekat padaku. Tapi, masih ada angin. Pernah kucuri dengar dari orang sekolahan, katanya, bunyi hanya memerlukan media perantara untuk bisa didengar, yakni cukup ada udara. Untungmya, angin merupakan udara yang bergerak. Jadi dia bisa berjalan bahkan berlari ke mana saja dia mau. Siapa tau dia mau mengantarkan serapah bocah bermata bulat ini ke gedung beratap bulat itu.

Sudahlah, kamu benar. Lebih baik kukenakan baju dinas pagi-ku: kaos tanpa lengan berwarna putih abu abu debu dengan gambar peta dan aliran laut Hitam. Distelkan necis dengan celana safari selutut hitam jelaga. Tak lupa topi bundar dengan rajutan yang melintang ke kanan dan ke kiri. Begini saja sudah cakep. Tak perlu lah semprotan parfum seharga ratusan ribu atau bahkan jutaan. Tanpa parfum pun bauku sudah khas. Buktinya, mereka, orang orang dengan parfum mahal itu, segera menutup hidung lalu bergidik seperti melihat kotoran tikus di teras rumahnya kala berpapasan denganku. Tapi untungnya, kamu tak melakukan itu. Di depanku.

Aku menuruti nasihatmu. Terlalu pagi. Pagi masih biru. Terlalu dini. Dan terlalu suci jika aku harus menyumpah serapah. Lagipula tak pantas, apalagi aku tak pernah mengenal sekolah. Sangat jauh lebih bijak jikaserapah itu aku tukar dengan sekarung besar sampah. Benar sekali. Dan sepertinya, di tempat-mu, di gedung beratap bulat itu, aku akan memulung banyak sekali sampah. Tidak hanya satu karung besar. Ratusan karung besar pun tak akan pernah cukup sepertinya.

Dasar tikus kecil! Tapi aku senang mendengarmu bernyanyi.

Jakata, 14 April 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun