Keramikku pecah. Pecahannya terlempar ke mana-mana. Satu satu kupunguti tiap keping dari satu sedut ke sudut lain. Mereka tertawa melihatku. Mereka melihat ini sebagai sampah. Tapi mengapa mereka tertarik pada ‘sampah’ ku ini. Direbutnya keping sampah paling besar terus dilemparkan ke sana kemari tak ada habisnya. Bukankah mereka sendiri yang mengatakan sudah jengah dengan sampah ini. Tapi ketika sampah itu mulai bernoda, mereka menjamahnya lagi, melemparkannya lagi seperti anak anak kecil kegirangan main bola tangan. Dan ketika sampah itu jatuh mereka tertawa terpingkal pingkal.
Aku ikuti permainan mereka, ikut ikutan melihat ini sebagai sampah yang membosankan. Karena sebenarnya aku bingung harus bermain bersama siapa. Diberikannya sampah itu padaku. Tapi mereka baik. Sepertinya mereka mulai bosan dengannya. Akhirnya mengajakku ke kuburan seberang dengan membawa cangkul yang mulai karatan. “Sudah saatnya sampah ini dikubur”. Aku tersenyum. Kita sama-sama menguburnya, meski ada sedikit penyesalan karena aku ingin me-recycle nya sebenarnya. “Sampah itu sudah busuk. Tak mungkin bisa didaur ulang! Kita cari mainan yang lain.”
Aku tersenyum. Lagi. Tak mungkin aku menolak karena aku sudah terlanjur ikut serta permianan ini. Kuremas relungku yang menolak menjerit jerit. Kuberikan tawaku untuk semua karena memang itu yang diminta dalam permainan ini. Sudah lah. Biarkan dia terkubur. Toh memang dia sudah menjadi sampah. Mana mungkin aku bisa mendaur ulangnya. Apa lagi sampah ini sudah luluh lantak berkeping-keping, mana ku tahu ada sejumput keping yang hilang. Tak mungkin bisa utuh lagi. Tapi, bukankah masih bisa jadi mozaik abstrak yang indah?? As, selalu ada tapi.. Sudahlah, aku tak berbakat di dunia seni, tak usah berpikir daur ulang lagi.
Mereka memberiku keramik baru. Unik dan menarik. Aku senang bukan main. Ternyata mereka begitu peduli padaku. Aku mulai menikmatinya. Tapi semakin hari nadi ku semakin menyempit. Aliran darah serasa melambat. Neuro dalam otak kecilku menarik ku kembali ke tanah kuburan. Terbersit ingin untuk menggalinya lagi. Bodoh kah? Siapa tau dia masih utuh disana. Mungkin saja kan belatung enggan mencicipinya atau cacing tanah malas mengurainya. Ah, bodohnya aku, mana mungkin pecahan keramik bisa terurai?? Mungkin yang lebih mungking, mungkin dia msih bernapas sebenarnya di bawah sana. Menarik pecahan pecahan yang telah tersebar di berbagai patahan yang entah sudah bercampur kerikil atau pasir. Iya, mungkin dia masih bernapas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI